Alifuru Supamaraina: Maluku Miskin, Maluku Bersuara)*

Tuesday, December 4, 2018

Maluku Miskin, Maluku Bersuara)*

          Dalam sejarah, sejak terbentuknya negara Republik Indonesia, Maluku adalah salah satu wilayah yang melalui sebagian para tokoh Maluku telah menyatakan bersatu dengan negara baru yang baru pula diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Maluku, pun oleh sebagian tokoh dan masyarakatnya pernah menyatakan ingin berpisah dari negara Indonesia, ketika itu terjadi di tahun 1950, yang kemudian oleh negara Indonesia diakhiri gerakan tersebut dengan ditangkapnya dan bahkan hingga dihukum tembak mati tokoh utama gerakan kemerdekaan dimaksud.

Tetapi cerita belum tamat, masih ada gaungnya di luar wilayah kekuasaan negara Indonesia, yang kemudian ketika terjadi “rekayasa” konflik sosial di Maluku tahun 1999, kembali muncul gerakan sewarna dengan yang sebelumnya, tetapi tindakan oleh negara kembali membuat tidur aktifitasnya. Apakah kemudian tamat pergerakan berintrik perjuangan kepentingan rakyat di Maluku? Belum. Malah dengan membaca kondisi Maluku terkini, dengan raihan peringkat Provinsi Termiskin di Indonesia, makin melebar sebagai gerakan sosial bersama Orang Maluku - sebagai bagian warga negara Indonesia, agar negara benar-benar menghadirkan kesejahteraan kepada seluruh rakyat di Maluku, tetapi lebih bersifat gerakan moral kebangsaan oleh rakyat. Tentu saja berlandaskan konstitusi negara.

Maluku Miskin, Maluku Bersuara
























                            Rumah Gaba-gaba berbahan pohon rumbia(sagu), rumah penduduk sebuah Negeri pesisir di Maluku, (Foto ; Dokumentasi Pribadi)


Bukan tanpa alasan, sebab janji negara – melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian diulang hal yang sama oleh Presiden Joko Widodo, untuk Maluku dijadikan pusat industri perikanan Indonesia melalui program Lumbung Ikan Nasional (LIN), tidak juga terealisasi hingga saat ini. Harapan besar perubahan tingkat kehidupan melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi luar biasa perikanan Maluku setelah komoditi unggulan Maluku – cengkeh dan pala, terpuruk. Undang-Undang Provinsi Kepulauan yang diharapkan dapat menghadirkan perhatian lebih Pemerintah Pusat kepada wilayah provinsi yang memiliki perairan luas dari tanah daratan pulau seperti Maluku pun sudah belasan tahun terbaring dalam derita “mati segan hidup pun sulit”, hanya sebatas rancangan. Politik kebijakan dalam alokasi anggaran negara yang hanya didasari besar jumlah penduduk dan luas daratan, sekalipun sudah disuarakan berbagai pihak yang sesama nasib wilayahnya lebih luas lautan dengan jumlah penduduk yang kecil, hanya buih di ombak pantai berkarang. Kebijakan negara yang sangat mempersulit, hingga sengaja mengabaikan hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat atas wilayah ulayat – tanah dan hutan, maupun perairan, telah melengkapi syarat kesulitan-kesulitan yang melahirkan kemiskinan pada rakyat pemilik tetapi kehilangan haknya.

Maluku Miskin, Maluku Bersuara
Cengkeh, komoditi “romantic” unggulan Kepulauan Rempah-rempah yang makin pupus ditelan jaman(Foto; Dokumentasi Pribadi)

Memandang Maluku dalam konteks Indonesia hari ini, masih berada dalam daftar Provinsi Termiskin. Maluku masih berkutat dengan kemiskinan yang akut di wilayah dengan kandungan kekayaan alam yang melimpah. Sesuatu yang menolak ketidak keinginan untuk didiamkan, apalagi dibiarkan berlangsung makin lama dalam ketidakpastian menanti saat kapan hingga lenyapnya predikat provinsi termiskin di Indonesia. Perdebatan tentang seberapa besar dan lama kontribusi Maluku, sudah harus selesai saat ini, karena bukan semacam lagu romatis yang biasanya senang diulang-ulang di saat kapan pun tetapi tidak pernah membosankan. Kemiskinan Maluku bukan lagu romantis, tetapi bencana sejarah kemanusiaan di negeri terkaya sumber daya alamnya.

Posisi Maluku masih sebagai Provinsi yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal patriotis yang masih dirasakan hingga saat ini, dan tidak dalam kerangka pikir sampai harus dilawan, karena adalah kawan. Dalam kebersamaan bertali-kawan, syaratnya adalah kebaikan bersama melalui keadilan berbagi, adil dan merata antara kawan. Maka ketika ada pola pikir yang berkembang menyangkut suara-suara ketidakpuasan sebagai kawan, dapat dibaca lagi ulang apakah selama ini dalam berbagi sudahkah adil dan merata. Bukan berarti sebaliknya ditafsirkan miring hingga dijastis hendak mengarah kepada suatu usaha untuk membuat jarak yang hendak memisahkan antara Maluku dan negara Indonesia. Kecuali itu, apalagi hingga dianggap mengandung intrik politis yang bermaksud mendisintegrasikan Maluku dari negara Indonesia. Itu berlebihan, dan sesat arah berpikir demikian.

Sebuah gerakan rakyat, selalu ada alasan dan itu sah sebagai tanda peringatan kepada pemerintah yang berkuasa untuk diperhatikan dan ditanggapi melalui langkah nyata implementasi apa itu kemauan gerakan rakyat tersebut. Bukan sebaliknya bersifat apatis, atau hanya diberikan janji yang hanya menjadi mimpi tak ternyatakan, apalagi dilabeli anggapan yang malah lebih memperlebar kekecewaan, bahkan membuat luka yang membekas dan menoreh memori traumatis kepada rakyat bersangkutan hingga terinkubasi kebencian yang mendendam seumur ingatannya.  Apakah kemudian, sebagai rakyat yang merasa ada yang kurang, terdapat sesuatu yang pantas harus dipertanyakan dan disuarakan, kemudian ditafsirkan sebagai suatu gerakan makar melawan negara? Tentu tidak mesti tidak semudah – dengan mudah, itu penafsirannya, beta sebut pola pikir prematur dan berpola pintas. Malah tidak memunculkan keindahan kebersamaan dan kehormatan terhadap hak azasi warga negara yang harusnya dirangkul dengan perlakuan manis dan menyenangkan, serta mengenyangkan.

Kemiskinan Maluku bukan suatu kodrat Tuhan, tetapi suatu bencana kemanusiaan zaman modern, sebagai akibat “rekayasa” negara melalui berbagai regulasi oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan negara. Sebagai regulator, atas dasar Konstitusi Negara, kekuasaan pemerintahan daerah yang Kepala Daerah – Gubernur, Bupati/Walikota, dipilih langsung oleh rakyat di daerah melalui pemilihan umum kepala daerah (Pilkada), sekalipun dengan diberikan hak otonomisasi, tetapi sesungguhnya tidak banyak yang dapat dilakukan. Pemerintah Daerah kehilangan peluang inisiasi dan kreatifitasnya, sudah dipalang dengan berbagi regulasi yang menjadi rambu-rambu kebijakan pemerintahan daerah, yang intinya merupakan peng”amputasi”an di sana-sini kekuasaan di daerah. Kecuali sekadar sebagai eksekutif dan instruktur yang menjalankan kebijakan yang diperintah dari pemerintah pusat.

Maluku miskin – peringkat 4(empat) Provinsi Termiskin di Indonesia menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik hingga tahun 2019. Bukan hal baru, sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Bencana ini bisa terjadi sebagai akibat kebijakan sistemik kekuasaan pemerintah negara. Politik kebijakan anggaran pemerintahan pusat dan pengelolaan anggaran pemerintahan di daerah, secara struktural berdampak kepada pemiskinan masyarakat Maluku. Maka itu, kemiskinan  di Maluku adalah kemiskinan struktural yang sistemik, bukan kemiskinan absolut.

Pakem kebijakan pembangunan yang tidak sinkron dengan karakteristik budaya dan sosial masyarakat Maluku, secara struktural menyebabkan masyarakat Maluku menjadi termiskinkan. Kemiskinan yang relatif yang tentu merupakan sesuatu yang aneh tapi nyata. Berbeda jauh kemiskinan di Maluku dengan kemiskinan seperti misalnya di pulau Jawa atau lain tempat di Indonesia. Masyarakat asli Maluku, hampir seluruhnya memiliki tanah – bahkan masih berlebihan, kebun dan hasil kebun, hutan adat – kepemilikan bersama, ruang laut dengan potensi perikanan dan hasil laut. Tentu kesempatan dan peluang untuk membangun perekonomian sangat terbuka, tetapi terkendala sarana dan prasarana pendukung, akses legalitas hak, akses pasar dan kemudahan permodalan, kebijakan pemerintah yang tidak membantu memaksimalkan hasil panen khususnya komoditi asli Maluku kecuali dibiarkan mengikuti hukum pasar – bebas. Selain hampir tidak ada semacam “proteksi” terhadap masyarakat asli daerah dalam ruang-ruang perekonomian dan kesempatan berusaha yang didukung pembinaan dan pengawasan yang tulus dan sungguh-sungguh serta rutin tanpa batas waktu dari pemerintah daerah Maluku.

Indonesia telah lepas dari rezim Orde Baru, yang kata sebagian pengamat dianggap sangat represif terhadap suara berbeda, maka itu muncullah gerakan baru di tahun 1988 yang disebut gerakan Reformasi. Reformasi sistem bernegara menuju negara demokrasi yang permanen, tentu masih dalam proses dengan terus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk menemukan bentuk yang pas untuk sebuah negara besar dengan multi etnis dan budaya, agama, yang terpisah-pisah kediamannya di ribuan pulau, dengan konsentrasi penduduk terbanyak ada di pulau Jawa. Sementara Maluku yang tidak seberapa besar jumlah penduduknya, malah tercerai-berai berada di ribuan pulau dengan rentang kendali wilayah perairan – laut, yang masih saja terkendala oleh kesulitan sarana dan prasarana penghubung untuk memudahkan akses jangkauan antar pulau. Di jaman rezim reformasi ini, haruslah terbuka secara demokratis suara-suara masyarakat harus didengarkan pemerintah, diterima, lalu diselesaikan apa yang diinginkan oleh suara-suara tersebut.

Sebagai akhir, Konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, jelas menjamin hak-hak warga negara untuk bersuara, mengeluarkan pendapat. Tentu ada rambu-rambu berupa tata cara yang diatur melalui peraturan turunannya. Tetapi tidak ditafsirkan secara “semau gue”, sehingga ketika terdapat suara-suara “sumbang” dan “beda” dengan haluan rezim pemegang kekuasaan negara, kemudian dijadikan alasan sebagai seakan adalah suatu tindakan melawan hukum. Atau sampai menafsirkannya ke arah sesuatu yang kemudian dilabeli sebagai suatu gerakan masyarakat seakan bagian dari serial stempel gerakan separitis yang makar terhadap negara. Begitu pula, jangan sampai oleh adanya sebagian orang Maluku yang merasa “paling Indonesia”, lalu berposisi sebagai “anjing penjaga”, padahal mereka sedang membela kepentingan diri sendiri akibat mungkin saja takut kelaparan. Kepentingan rakyat miskin di Maluku yang disuarakan, ini adalah sesuatu yang bersifat umum dan demi kepentingan bersama sebagai sesama Orang Maluku. Kepentingan untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan di tanah Maluku yang kaya berlimpah harta.


Kesejahteraan sebagai tujuan akhir yang diinginkan, untuk itulah yang sedang berusaha diperjuangkan dengan terus disuarakan. Karena tujuan bernegara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya. Hal itu berarti bukan harus menerima kenyataan atas suatu “kesengajaan” yang dipraktekkan negara secara tidak adil terhadap rakyat di Maluku, kemudian harus menerima nasib seakan kemiskinan itu adalah sesuatu yang wajar di bumi Maluku yang berlimpah-ruah kekayaan sumber daya alamnya.
 
Kampung Bendungan, 04 Desember 2018
M. Thaha Pattiiha
---------------------------------------------------
)* Tulisan ini telah direvisi(17/8/2019)

No comments:

Post a Comment