Alifuru Supamaraina: SASI DAN MATAKAU

Monday, November 12, 2018

SASI DAN MATAKAU

         Oleh ; M. Thaha Pattiiha

                Dalam Kebudayaan Maluku dikenal Hukum Adat Sasi dan Matakau. Kedua aturan hukum adat sudah sangat tua umurnya, karena aturan yang secara tradisionil berlaku di masyarakat adat Maluku ini, telah diberlakukan beratus tahun yang lalu. Hanya saja, sejak kapan pastinya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejarahnya. Akan tetapi, sudah pasti telah menjadi bagian dari budaya masyarakat negeri-negeri adat di Maluku yang masih dihormati dan diyakini kegunaannya, sehingga sampai sekarang masih dipertahankan.

Sasi dan matakau, saling berbeda kegunaan peruntukan dan perberlakuannya. Kesamaan ada dalam fungsi, yaitu khusus dalam mengatur dan memelihara Sumber Daya Alam(SDA) dan lingkungan hidup umumnya, selain pelajaran untuk membentuk moral dan perilaku masyarakat. Dimaksudkan agar terjadi keteraturan dalam mengelola hasil alam dan lingkungan hidup, sehingga tetap terjaga dan terlindungi dari kerusakan, bahkan moral atau adab masyarakatnya menjadi positif.

Di wilayah Maluku bagian tenggara, yaitu di kepulauan Kei disebut hawear, sama saja fungsinya dengan sasi. Sasi dan matakau, sama-sama diperuntukkan kepada masyarakat umumnya, tetapi alasan dan maksud, sanksi, dan kebutuhan asal penerapannya saling berbeda.


Ø Sasi

           Sasi, adalah hukum adat yang ditetapkan secara umum kepada masyarakat – warga suatu negeri(desa) untuk larangan mengambil atau memanen suatu objek sumber daya di alam dalam wilayah yang ditentukan. Untuk di daratan, berlaku untuk buah-buahan seperti pala, kelapa, durian, maupun buah-buahan lain atau jenis hasil hutan lain yang dianggap perlu untuk diberlakukan larangan sasi. Bila diberlakukan untuk laut dan pantai, adalah untuk jenis ikan tertentu. Di beberapa lokasi tertentu khususnya dia area pantai, diberlakukan untuk panen telur burung Maleo, telur penyu, dan cacing(belut) laor.

Bilamana di suatu negeri adat diberlakukan adat sasi, maka aturan larangan sasi hanya berlaku di lingkungan dan sesuatu objek larangan yang dimaksud pada negeri adat bersangkutan. Larangan tersebut tidak berlaku di negeri yang bertetangga atau negeri yang lain, tetapi objek yang dilarang berlaku bagi siapapun atau semua orang tanpa kecuali, baik warga di dalam negeri maupun bukan warga negeri yang menerapkan adat sasi. Setiap orang dilarang mengganggu, mengambil, atau memanen sesuatu objek yang dilarang atau dikenakan larangan adat sasi, hingga tiba pada waktunya berakhir masa berlakunya larangan sasi. Berlaku sanksi adat bagi siapapun yang melanggar larangan adat sasi, berupa pembayaran denda, hukuman badan yaitu dipukul dengan rotan sekian kali, juga bisa hingga diarak di tengah jalan keliling lingkungan negeri. Untuk sanksi yang terakhir ini, lebih kepada efek jerah paling maksimal, karena tujuannya buat pelanggar larangan untuk dipermalukan agar tidak lagi mengulang perbuatannya. Ada pula – di masa lalu, nama atau identitas pelanggar yang melalui Marinyo - juru bicara negeri, diumumkan keliling negeri. Hingga di jaman modern saat ini, kadang identitas pelanggar diumumkan melalui pengeras suara yang tersedia di rumah raja (setingkat Kepala Desa), kantor pemerintahan negeri, atau tempat ibadah – masjid  atau gereja, kepada seluruh lingkungan negeri.

Sasi merupakan larangan tidak tertulis, tetapi menjadi kesepakatan bersama yang dihasilkan melalui musyawarah warga negeri. Sebagai peringatan berlakunya larangan sasi, maka di sudut-sudut jalan keliling negeri akan dipasang tanda menggunakan janur kelapa. Janur kelapa dianyam dan dihias atau dibentuk dengan hiasan dari robekan kain berang – kain merah, atau kain putih yang diikat secara acak di sekitar batang janur. Sebelum dipasang, sasi yang telah dibuat atau dibentuk akan diarak terlebih dahulu keliling negeri dengan tata cara prosesi ritual yang sudah baku, dipimpin oleh Maweng atau Tokoh ritual adat negeri yang khusus memiliki fungsi sebagai “Tuan” sasi negeri adat. Demikian juga pada saatnya, ketika akan diakhiri masa berlaku larangan sasi, dilakukan pula oleh Maweng.

Masa berlaku sasi disesuaikan dengan kebutuhan dan tenggat waktu peruntukkannya, yaitu mulai dari masa awal hingga saat yang dianggap sudah waktunya larangan sasi dicabut. Sasi diberlakukan bersifat terbatas, baik terhadap objek SDA yang ditentukan, area atau wilayah yang ditentukan atau diperuntukkan, dan untuk jangka waktu tertentu sejak kapan dimulai dan hingga kapan berakhir waktunya. Untuk objek tertentu sasi dapat diberlakukan secara periodik setiap tahun, seperti sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil) di negeri Haruku, pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Sama juga seperti sasi menangkap ikan secara umum di negeri Kawa, Kabupaten (Pulau)Seram Bagian Barat.

Selama masa berlakunya larangan sasi, apabila diperlukan karena terdapat kebutuhan mendesak, maka melalui permintaan ijin lebih dulu dan disertai syarat pembayaran denda tertentu, seseorang dapat diijinkan mengambil sesuatu yang menjadi objek sasi. Penguasaan dan penerapan pemberlakuan sasi, selain melalui pemerintahan negeri, dapat juga diserahkan penanganannya kepada kelembagaan lain di dalam lingkungan negeri setempat. Dikenal di negeri-negeri adat yang beragama Kristen, selain sasi adat juga terdapat sasi gereja.

Pembukaan Sasi Ikan Lompa, warga ramai-ramai panen ikan lompa(Trisina baelama) di sungai Learisa Kayeli,   Negeri Haruku – pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah
Pembukaan Sasi Ikan Lompa, warga ramai-ramai panen ikan lompa(Trisina baelama) di sungai Learisa Kayeli, 
Negeri Haruku – pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah(Sumber; antarafoto.com)

Ø  Matakau

          Matakau, adalah hukum adat yang bersifat terbatas kebutuhan dan peruntukkannya. Hanya dipergunakan oleh orang per orang atau suatu keluarga – matarumah atau keluarga se-marga, tertentu. Tujuan pemasangan matakau diberlakukan untuk objek tertentu yang merupakan hak milik orang atau keluarga yang bersangkutan. Misalnya untuk melindungi hasil kebun, pohon buah-buahan, atau pun objek tertentu yang adalah milik orang atau keluarga yang bersangkutan, sehingga tidak diambil atau dicuri oleh orang lain yang bukan dari keluarga pemilik matakau.

Antara sasi dan matakau dimaksudkan untuk tujuan yang sama, yaitu melarang orang lain untuk mengambil sesuatu yang ditandai diberlakukannya larangan adat sasi dan matakau. Persamaan lainnya, adalah dalam prosesi sebelum dipasang atau diletakkan di tempat atau lokasi yang dimaksud, sama-sama melalui prosesi adat tradisionil yang lebih bersifat mistis. Perbedaan ada pada kepemilikan, bila sasi secara umum dan dimiliki untuk digunakan bersama oleh suatu negeri adat, maka matakau lebih bersifat kepemilikan keluarga atau perseorangan. Matakau menurut bentuknya tidak hanya satu jenis, tetapi cukup beragam bentuknya dan dengan prosesi pembuatan dan efek yang ditimbulkan saling berbeda satu jenis dengan jenis matakau yang lain.

Dalam mitologi masyarakat adat Maluku, sasi dan matakau dipercaya keduanya sama-sama memiliki daya kandung supra natural karena bersendikan keyakinan secara kosmos menurut kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang, yaitu memiliki kekuatan mistis dan magis. Memang tidak dipungkiri, sehingga ditakutkan dapat langsung berakibat buruk karena dapat membahayakan bagi pelanggarnya, selain sanksi nyata. Seperti sasi, selain dampak nyata dikenakan sanksi hukuman adat, akibat magisnya masih ada toleransi sebatas bahaya ringan, seperti sakit perut atau akibat ringan lainnya. Sedangkan pelanggar larangan matakau tidak dikenal atau mendapat sanksi adat, tetapi dampak magisnya dipercaya bisa lebih parah hingga membahayakan keselamatan jiwa seseorang atau pelaku pelanggarnya.

Sasi dan Matakau, merupakan bagian milik dari kekayaan budaya adat yang lahir dari kearifan lokal masyarakat adat Maluku, dan telah bertahan menembus dan melewati pergantian periode waktu dan jaman kehidupan manusia. Menjadikan sasi dan matakau sebagai bagian dari hukum adat yang masih dipertahankan dan dipergunakan hingga saat ini. Hal itu pula yang telah berkontribusi dalam membentuk karakter dan jiwa masyarakat adat di Maluku, tentang bagaimana SDA dipelihara, dirawat, dan dilestarikan, melalui cara-cara bijak melalui tatanan mental kejiwaan masyarakatnya yang ditata secara beradab.

Maluku adalah wilayah yang meliputi Pulau Seram, Buru, Tanimbar, Halmahera, kepulauan Kei, Banda, Aru, Gorom, MAKEBO(Manipa, Kelang, Buano), TNS(Teon, Nila Serua) Pulau-pulau Terselatan(Kisar, Babar, Selaru, Marsela, dll), Kepulauan Sula, Ternate, Tidore, Bacan, Obi, dll. Dari Morotai di utara hingga Selaru paling terselatan, Sasi dan Matakau adalah budaya yang masih digunakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan. Namanya pun berbeda sebutan di masing-masing wilayah, tetapi fungsinya tetap sama.


Suatu bukti, bahwa dengan penataan yang tertib secara tradisional melalui pranata hukum adat, hasilnya adalah SDA di Kepulauan Maluku di darat maupun di laut hingga saat ini secara umum sebagian besarnya masih terpelihara dan tetap lestari. Namun demikian, infiltrasi budaya yang terbentuk dari perubahan jaman dan ilmu pengetahuan modern yang memunculkan budaya baru, berbeda, dan tersendiri. Kadang terbesit pemikiran miring sebagian orang yang seperti dengan sengaja ingin menghalau perbendaharaan budaya dengan mengesankan seakan sudah kuno, tidak searah perkembangan jaman. Pola pikir demikian yang menjadi batu sandungan dan yang bisa menghancurkan suatu budaya tradisional masyarakat adat yang kadang lemah dan rentan pertahanannya terhadap suatu pengaruh pemikiran dan perilaku baru yang seakan lebih baik dan modern. Dampak sesat budaya modern yaitu cenderung instan, bersifat kepentingan sesaat, yang tentu menyesatkan kepedulian terhadap keberlanjutan kehidupan manusia dan lingkungan hidup. Setidaknya gaung konsep pembangunan berkelanjutan – Sustanible Development, bisa mengambil “nyawa” atau belajar dari (khususnya) hukum adat budaya sasi. Sebagai warisan, yang lahir dari kecerdasan hasil pemikir tradisional bangsa Alifuru yang sangat arif dan telah menjadi bagian dari kekayaan budaya lokal Maluku saat ini.
                                                            
                                                                                                                                                        Depok, 11 November 2018 
------------
Catatan ; Untuk beberapa tulisan tentang Sejarah dan Kebudayaan Maluku, seperti  Sasi dan Matakau ini, beta tidak harus melalui studi lapangan maupun pustaka. Sebab beta sebagai anak adat maka sekaligus juga sebagai pelaku atau pengguna pranata hukum adat yang berlaku di masyarakat atau negeri adat di Maluku, sehingga tidak menggunakan referensi bahan atau data dasar.Terkecuali gambar foto untuk melengkapi keterangan tulisan, ada yang menggunakan sumber atau referensi dari pihak lain.

No comments:

Post a Comment