Alifuru Supamaraina: HUTAN ADAT ; HAK MILIK PRIBUMI MALUKU YANG DISAMARKAN ATAS NAMA KEKUASAAN NEGARA

Saturday, July 27, 2019

HUTAN ADAT ; HAK MILIK PRIBUMI MALUKU YANG DISAMARKAN ATAS NAMA KEKUASAAN NEGARA

Oleh : M. Thaha Pattiiha

(Seri #MOZAIKCoffee - #AlifuruItuMaluku)

HUTAN ADAT ; HAK MILIK PRIBUMI MALUKU  YANG DISAMARKAN ATAS NAMA KEKUASAAN NEGARA
 Aksi Masyarakat Adat Alifuru di kota Ambon memprotes penggundulan hutan-hutan adat di pulau Seram kepada Gubernur(Foto Istimewa)

          Hutan adalah mata rantai kehidupan masyarakat tradisional yang merupakan “nyawa” antara untuk melanjutkan kehidupan masyarakat suatu komunitas di sekeliling yang menggantungkan kehidupannya dari keberadaan hutan. Hutan menyediakan konsumsi ransum kehidupan yang diperlukan setiap saat, selama peri kehidupan yang telah terbentuk sejak awal membuat ketergantungan yang tidak dapat dilepaspisahkan dengan alasan apapun secara sengaja oleh rekayasa manusia, kecuali karena bencana oleh alam sendiri yang menggerusnya.

Bangsa Alifuru secara entitas antropologis telah tumbuh secara alamiah dan menyatu dengan hutan-hutan kepulauan Maluku sudah sejak ribuan tahun yang lalu, hingga kini. Tidak ada yang berubah atau dirubah sendiri hutan-hutan mereka, sampai tiba dinyatakan dengan atas nama kekuasaan negara kemudian hutan-hutan mereka pun beralih kuasa dengan dipindah tangankan hak pengaturannya oleh negara. Negara lalu yang menentukan ya dan tidak hak tersebut apakah masih menjadi hak milik atau hanya hak kepemilikan semu. Saat masyarakat adat berteriak memprotes perlakuan negara terhadap hutan-hutan mereka, aparat negara segera bertindak dengan tangkas, sigap, dan represif, maka bubar dan pupuslah keinginan untuk menyuarakan keresahannya. Suara-suara rintihan masyarakat adat, bagai dedaunan layu lalu mengering di hutan-hutan adat yang digunduli mesin-mesin penebang dan digilas traktor.

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012, atas Undang-Undang(UU) Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan bahwa hutan adat tidak lagi bagian dari hutan negara, tetapi menjadi bagian dari hutan hak masyarakat hukum adat. Putusan MK secara legal telah merevisi klaim sepihak pemerintah(negara), yang memasukkan hutan adat sebagai hutan negara melalui UU Nomor 41/1999. Putusan dimaksud telah membatalkan “negarasasi” tanah-tanah hutan masyarakat (hukum) adat, yang sebelumnya – hingga saat ini pun masih,  telah terjadi pelanggaran hak atas tanah-tanah hutan milik masyarakat adat. Negarasasi berakibat pada pemiskinan, penyingkiran, dan tindakan diskriminasi aparat negara terhadap masyarakat adat.

HUTAN ADAT ; HAK MILIK PRIBUMI MALUKU  YANG DISAMARKAN ATAS NAMA KEKUASAAN NEGARA
Aksi protes Masyarakat Adat Alifuru kepada pengusaha perkebunan sawit di pulau Seram bagian utara (Foto Istimewa)

Masyarakat Adat berhak atas hutan dan tanah yang telah secara turun temurun hidup selama beratus hingga beribu tahun sebelumnya bersama hutan-hutan dan tanah-tanah yang menjadi bagian kehidupannya. Sampai di situasi itu, ternyata negara masih menggantungkan harapan masyarakat adat secara samar dalam aturan yang kembali membutuhkan upaya lanjutan oleh masyarakat adat, sebelum benar-benar secara penuh berhak dan memiliki kuasa atas tanah-tanah dan hutan mereka. Hak itu tidak segera bisa diperoleh, sebab masih harus ditindaklanjutkan dengan legalitas berikutnya, berupa penetapan di tingkat daerah – provinsi dan kota/kabupaten, melalui Peraturan Daerah. Sebabnya, putusan MK dimaksud tidak merevisi pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat sebagaimana Pasal (67) UU Kehutanan tahun 1999. Untuk itu masyarakat adat harus diposisikan sebagai subjek hukum, dengan dibantu dan disertakan dalam upaya percepatan pengakuan hak oleh pemerintah daerah melalui inisiasi langkah konkrit implementasi putusan Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Daerah (Perda) – bisa saja usulan inisiatif DPRD, atau melalui Peraturan Kepala Daerah – Gubernur, Bupati, dan Walikota.

HUTAN ADAT ; HAK MILIK PRIBUMI MALUKU  YANG DISAMARKAN ATAS NAMA KEKUASAAN NEGARA
 Penebangan kayu di hutan adat pulau Yamdena(Foto ; Koreri.com)


Terdapat Perda Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu.  Perda yang diperuntukan guna perlindungan hutan sagu di Maluku, hanyalah “omong kosong di atas kertas”, karena di lapangan, hutan-hutan sagu di tanah hak ulayat masyarakat adat kian habis dibabat, dialihfungsikan untuk kebutuhan perkebunan besar sawit, lahan transmigrasi, dan pemukiman. Selebihnya, hingga saat ini pemerintah daerah Maluku maupun anggota badan perwakilan rakyat di lembaga legeslatif masih “sono” - tertidur pulas, tidak melakukan apa-apa. Tidak ada inisiatif apapun dari lembaga pengemban aspirasi rakyat – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik Provinsi maupun khsusnya kabupaten dan kota, yang tergerak nuraninya mau “menolong” menyelesaikan kebutuhan dan kesulitan masyarakat adat untuk melegalkan hak miliknya atas tana-tanah hutan adat. Lalu kepada siapa lagi harus dimintai pertolongan? Tunggulah ketika tiba saat mereka datang meminta suara dukungan di saat musim kampanye pemilihan umum, karena diluar saat itu suara masyarakat hanya debu di kaca mobil dan jendela gedung parlemennya yang kedap suara dan terhindar dari kepanasan dan kehujanan. Atau harus menanti dulu mereka berangkat dan pulang dari “Studi Banding”

Perbedaan negara dan masyarakat adat, adalah soal kemampuan administrasi dan pengetahuan atas hak milik pada tanah-tanah hutannya. Masyarakat adat dengan “merek” masyarakat tradisionil, lemah posisi tawarnya, cenderung “bodoh” memahami duduk masalah. Sehingga secara terpaksa, karena tidak akan mampu menolak untuk kembali menyerahkan hak miliknya atas hutan untuk diatur oleh negara. Situasi yang menyayat rasa keadilan masyarakat adat, karena terbelit seperti lingkaran setan yang tak berujung pangkal, masalah yang melahirkan persoalan dan titik temu penyelesaiannya bergantung penting tidaknya “kebaikan” yang dibajaki dan diputuskan negara.

Kehadiran negara yang muncul belakangan, telah lebih berkuasa atas hak milik masyarakat warga negara – masyarakat adat, dalam lingkup wilayah kekuasaan negara. Kelemahan masyarakat adat atas administrasi dan pengetahuan hak miliknya atas hutan tidak semakin dipermudah, ketika kepentingan misi pemegang kekuasaan negara hendak dijalankan. Dr. Syafroedin Bahar - Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, menyatakan hal itu tidak berbeda dengan doktrin hukum penjajah Belanda yang mencantumkan asas domein verklaring dalam sistem hukumnya, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya kepemilikan atasnya, merupakan milik Kerajaan Belanda. Lebih lanjut dinyatakan, pengalaman menunjukkan bahwa pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi harus diperjuangkan secara terencana dan terorganisasikan oleh masyarakat adat sendiri.

Negara selalu pandai berkilah dan memiliki banyak alasan menjadikannya peluang dengan pembenaran yang dipaksakan agar masyarakat adat tunduk dan patuh mengikuti kemauan pemegang pemerintahan negara, melalui wewenang kekuasaan dan kedaulatan. Walau harus tersingkir, terusir dan terlantarkan dari tanah dan hutannya, tercabut dari akar budaya tradisionalnya, hilang lenyap situs sejarah dan spritual masyarakat adatnya, hingga memaksa tanpa bisa terbebaskan dari kubangan ketidakmampuan beradaptasi pada lingkungan barunya. Semua itu dipandang ringan pemegang kekuasaan negara, yang bahkan dianggap suatu pengorbanan demi kepentingan negara. Karena setiap pemegang kekuasaan negara hanya menjalankan kebijakannya dengan alasan yang dipoles seakan memang itulah kepentingan negara, dan masyarakat warga negara tanpa pilihan harus menerima dan mengakui kebijakan itu benar negara melakukannya untuk kepentingan rakyatnya. Begitupun masyarakat adat Bangsa Alifuru yang lebih dulu lahir bersama hutan yang harusnya menjadi hak untuk dimiliki sepenuhnya, tanpa pilihan harus rela dan “dilarang” berpikir dan bertindak bertolak belakang dengan kebijakan atas nama kepentingan kekuasaan dan kedaulatan negara. Bila sebaliknya negara memang peduli, maka Rancangan Undang-Undang Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, yang masih menggantung padahal sudah disusun sejak rezim pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan hingga periode presiden Joko Widodo, dapat segera disahkan dan diberlakukan.

Bangsa Alifuru adalah manusia hutan, selain manusia lautan. Mereka telah terbiasa dan akrab menyusuri belantara hutan dan rimbunnya padang ilalang. Menapaki lembah, bukit dan pegunungan, hingga kembali menemui pasir pantai. Alifuru adalah bangsa petualang yang pandai menundukkan  lawan dan menguasainya wilayahnya serta mampu mempertahankannya hingga darah tidak lagi menetes. Pribumi Maluku yang tetap tegar menjaga wilayahnya dari aneksasi bangsa asing, tetapi juga adalah ras petualangan – rumpun Melanesia, yang santun menyapa alam dan setia menjaga rimbanya. Menjadikan pulau-pulau besar khususnya di kepulauan Maluku tetap rimbun dengan pepohonan yang tinggi menjulang, padat dan tumbuh subur, terawat dan lestari jauh sebelum kehadiran negara baru bernama Republik Indonesia. Manusia pribumi Maluku berbangsa Alifuru, memang adalah manusia hutan yang mampu melintasi lautan antar pulau kepulauan Maluku. Hutan – juga lautan, yang telah merapatkan perilaku manusia Alifuru untuk lekat dan selamanya ada bersama dan selalu dengan hutan.


No comments:

Post a Comment