Alifuru Supamaraina: MALUKU, “NONA MANIS” YANG SELALU DIKECEWAKAN

Wednesday, August 14, 2019

MALUKU, “NONA MANIS” YANG SELALU DIKECEWAKAN

Oleh ; M. Thaha  Pattiiha

(Seri Esai #MOZAIKCoffee)

         Setiap manusia ditakdirkan untuk lahir, hidup(rejeki) dan mati, tanpa pilihan. Kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan dari keluarga – orang tua, siapa, di tempat atau negara mana. Menjalani hidup dengan rezeki kehidupan seperti apa, serta ketika saatnya mati entah kapan dan di mana. Bersyukur bagi kita Orang_Maluku, karena dilahirkan di tanah air “impian”, yang berlimpah sumber daya alam. Kekayaan yang seakan tak berbatas.

Kita patut bersyukur, karena anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah dihadiahkan tanpa terkira. Limpahan rezeki dan keberkatan sumber daya alam yang tersedia, mestinya peruntukan pemanfaatannya sudah dapat mensejahterakan kehidupan khususnya rakyat pribumi pemukim kepulauan Maluku saat ini.
Kepahlawan Pattimura
Ilustrasi Kepahlawan Pattimura, foto; @mbun01, (21/3/2017)

Maluku Negeri Impian

            Maluku secara religi adalah tanah, air, dan udara di alam dunia yang terberkati. Bumi kehidupan yang menoreh selaksa harapan dan peluang dengan didukung ketersediaan pemenuhan syarat atas keinginan – keinginan. Syarat-syarat itu tersedia untuk suatu kepastian dapat meraih dan menikmati kehidupan sejahtera dan makmur, penuh kebahagiaan dan keindahan dalam kehidupan. Tidak perlu berharap sebatas khayalan, karena hampir semua syarat nyata tersedia di alam Maluku untuk meraih dan menikmati peluang itu.

Sumber daya alam bumi kepulauan Maluku, daratan di atas tanah diberkahi hutan alam, tumbuh-tumbuhan, hewan dan burung-burung “surgawi”, keanekaragaman hayati.  Membentang gunung, bukit, lembah, dan pantai-pantai, melahirkan mata air dan dialiri sungai dan kali yang bening, segar, dan higienis. Tanah daratan kepulauan dengan keseimbangan ekologi dan ekosistem yang nyaris lengkap dan sempurna.

Di perut bumi – di tanah daratan dan di balik dasar tanah lautan, tersedia aneka tambang dan sumber energi. Uranium, emas, tembaga, nikel, minyak bumi, gas, batu bara, batu sinabar – bahan baku Merkuri, batu gamping – bahan baku semen, batu marmer, beraneka batuan indah. Di lautan - permukaan, perairan, dan dasar lautan, berlimpah beragam jenis ikan dan aneka hewan laut, mutiara terindah, sebaran karang beraneka bentuk dan warna, beragam tumbuh-tumbuhan dasar laut, hingga di bibir pantai, memukau pandangan mata yang menepis keinginan waktu yang berbatas agar lebih lama menikmati keindahannya. Sempurna dengan limpahan udara alam beriklim tropis dua musim yang segar dan membetahkan. Membentang bak permadani pantai-pantai berpasir dan berbatu indah, dengan pepohonan rimbun dan tumbuh-tumbuhan penghias sepanjang pesisir. Selalu terdengar nyanyian merdu burung-burung indah di belantara hutan-hutan yang hijau, rimbun, dan lebat.

Hampir sempurna ketersediaan limpahan sumber daya alam Maluku, yang hanya sebatas menjadi “mimpi” dari bukan pribumi Maluku. Sebaliknya, menjadi impian yang dapat dikhayalkan bagi pribumi Maluku karena limpahan kekayaan itu benar-benar nyata tersedia, dapat dirasakan berharap dapat dinikmati dalam kehidupannya.


Sebagai “Nona Manis”, Maluku Selalu Dikecewakan

Dalam kenyataan hari ini, Maluku terkesan bagai “Nona Manis”, yang cantik jelita dan nyaris sempurna dalam ukuran akal pikiran dan nurani, bahkan syahwat. Yang demikian biasanya menjadi impian siapapun setiap lelaki. Semua ingin memilikinya, maka tentu saja berbagai cara ditempuh untuk mendapatkannya.

Sebaliknya, sebagai nona manis, tentu memiliki impian-impian tersendiri yang ingin digapai, dan mempunyai pertimbangan dan pilihan-pilihan agar bagaimana dengan kemanisannya dapat menjadi kebaikan bagi diri sendiri tanpa kesulitan dan ada pembatasan untuk memilih jalan hidupnya untuk masa depannya. Tetapi itu sebatas impian, karena sebaliknya kepahitan yang dirasakan.

Sebagai suatu impian – tentu berbeda dengan mimpi, memang mesti dikhayalkan karena memiliki landasan dan alasan. Impian adalah ide dasar berpatokan pada suatu kesaksian nyata, akan adanya sesuatu yang dimungkinkan melahirkan impian itu menjadi hal yang nyata pada bukti yang dimiliki dan sedang disaksikan. Dan Maluku sebagai “nona manis”, tidak berhenti diperebutkan, karena diimpikan untuk dimiliki kekayaannya. Selama ini yang disaksikan dan dirasakan, tidak berbeda dengan pribahasa “habis manis sepa dibuang”, seperti itulah posisi Maluku.

Tidak ada yang salah apabila ada pihak begitu bernafsu  menguasai bumi Maluku sebagi tanah air impian untuk digarap dan dimiliki harta buminya. Kekayaan Maluku, bukan kemudian adalah anugerah kebaikan yang patut dan mudah untuk dimiliki bagi rakyat Maluku. Malah berubah menjadi musibah yang melahirkan kekecewaan hingga memunculkan rasa iri pribumi Maluku atas kekayaannya sendiri. Kekayaan di depan mata, hanya bisa dipandang tanpa kemampuan maksimal untuk dimanfaatkan dan menikmati hasilnya, sementara orang lain leluasa menguasai dan bebas menggarapnya, lalu hasilnya dibawa pergi ke luar Maluku. 

Keadaan demikian seperti tidak tidak berbatas, terjadi sejak Maluku terbuka bagi orang luar sudah sejak sebelum dan sesudah kehadiran bangsa-bangsa penjajah asing, hingga pun setelah menyatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Maluku belum merdeka untuk menikmati hak milik kekayaan hasil buminya hingga sekarang, sebaliknya masih merana akibat tersandera politik regulasi sebagai kebijakan rezim penguasa negara yang diamini penguasa di daerah. Pada akhirnya melahirkan musuh bersama kemanusiaan, yaitu kemiskinan pada rakyat Maluku. 

Rasa iri karena selalu dikecewakan, sesak karena dijepit, merana karena diabaikan hak-haknya, memang menyakitkan. Maluku selalu kecewa. Sudah bertahun-tahun dan berlapis kekecewaan yang dirasakan pribumi Maluku, bahkan tanpa jeda waktunya. Dampaknya makin buruk, karena telah meracuni cara berpikir dan mental sebagian orang Maluku beralih jadi apatis dan pasrah, “mati kutu”. Parahnya lagi makin kehilangan ke-maluku-annya, berubah sifat dan arah berpikir menjadi bagai “Opas Walanda”- cerita lengkapnya akan dimuat dalam tulisan lain. Yaitu anekdot tentang orang yang segala sesuatu dilakukan semata atas perintah tuannya, tanpa berpikir, tanpa inisiasi, akibat takut atau sungguh karena bodoh.

Maluku terkesan, makin kehilangan nilai-nilai perjuangan dan semangat kepahlawanan Kapitan Pattimura dan ribuan pahlawan pribumi Maluku yang telah rela berkorban nyawa, mati berkalang tanah, demi menyelamatkan tanah air Maluku dari aneksasi penjajahan orang asing. Kecuali hanya sekadar rekayasa kata-kata yang dipaksakan untuk ditulis pada potongan terbatas panflet atau balehu sederhana, serta koor aubade-serenade yang dikomando dalam upacara serimonial. Persembahan yang kian kehilangan makna dan manfaatnya, karena tidak lagi membathin di benak generasi milenial. Menjadikannya rutinitas yang makin tidak “bernyawa”.

Tidak mudah memang, segala sesuatu yang diimpikan dapat digapai. Maluku butuh para “Kapitan Milenial” – generasi bernyali era millennium kedua, yang pantang pulang tanpa mengusung “kepala lawan” untuk dipajang di Baileu. Tentu saja butuh syarat dan cara, agar mampu berjibaku dan pantang berbalik mundur ketika dihadapkan dengan tantangan dan rintangan yang menghadang. Didukung sarana sebagai media transformasi dan distribusi impian dimaksud. Dikukuhkan dalam sebuah strategi dengan pola terencana yang konstruktif, terukur, dan masif. Bersih dan steril dari kepentingan pragmatis sempit, sepihak, sesaat, yang tentu saja sesat.    Tersempurnakan melalui kesepakatan bersama yang didukung penuh kesungguhan upaya implementatifnya secara maksimal. Dipoles semangat jiwa yang terbangun melalui visi yang menjanjikan, dan dipastikan dapat divisualkan di masa depan.

Kampung Bulak, 14/08/2019

No comments:

Post a Comment