Alifuru Supamaraina: Negara Telah Mengeliminasi Kepemilikan Maluku Di Blok Masela

Wednesday, September 11, 2019

Negara Telah Mengeliminasi Kepemilikan Maluku Di Blok Masela

Oleh ; M. Thaha  Pattiiha
Abadi Field Blok Masela,  Negara harus adil, proporsional, dan transparan, dalam berbagi hasil Sumber Daya Alam gas Blok Masela dengan Maluku
Abadi Field Blok Masela,  Negara harus adil, proporsional, dan transparan, dalam berbagi hasil Sumber Daya Alam gas Blok Masela dengan Maluku (Grafis @embun01/Sumber SKK Migas) 


Blok Masela terletak di bumi Kepulauan Maluku yang memiliki pemukim – manusia atau orang yang menjadi penduduk asli suatu wilayah, yang tentu jauh lebih tua dan lama usianya dari umur penggabungan dalam bentuk satu nama wilayah baru yang disebut negara. Akan tetapi Blok Masela bukan berarti hanya atau adalah milik seutuhnya masyarakat pemukim atau pribumi Kepulauan Maluku semata. Di baliknya di dalam kenyataan bernegara dengan berbagai dilema kekinian yang dihadapi daerah Maluku, tentu akan memunculkan berbagai tanya tentang apa manfaat peran negara, ketika masih dihadapkan pada situasi daerah yang kecenderungannya  mengecewakan. Wilayah daerah Maluku kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), di lain pihak masyarakatnya masih berselimut kemiskinan.

Sebagai satu kesatuan dalam sama-sama bernegara, yang paling diutamakan adalah kesamaan derajat dan mendapatkan perlakuan yang adil dan proporsional terhadap kedudukan hak dan kewajiban selaku warga negara. Hak berpolitik secara demokratis, hak penghormatan terhadap kepemilikan, dan hak untuk sama-sama memperoleh kehidupan sejahtera. Demikian dengan hak politik dalam negara Indonesia yang menganut azas demokrasi, sudah seharusnya tersedia ruang berdiskusi dan berpendapat oleh warga negara terhadap posisi negara dan setiap produk kebijakan yang ditetapkan dan dijalankan rezim pemerintahan negara. Membedah dan mengkritisi suatu produk kebijakan setiap rezim pemerintahan sudah semestinya mendapatkan ruang dan keleluasaan untuk disuarakan baik sebagai individu maupun secara bersama-sama selaku warga negara.

Memandang kedudukan negara – Indonesia, dalam kerangka berpikir nasionalisme, adalah satu hal. Tetapi bukan berarti menafikan hal yang lain dalam konteks daerah sendiri – Maluku,  oleh sebagai Orang Maluku, yang tentu tidak sangat rasional untuk diabaikan posisinya sebagai wilayah penghasil terbesar SDA gas bumi yang ada pada Blok Masela. Sementara menyaksikan kenyataan saat ini Maluku dalam kesejahteraan hidup penduduknya, sebagian masih  berkubang dalam derita hidup sebagai warga miskin dengan peringkat luar biasa. Betapa tidak, wilayah yang dianugerahi Tuhan dengan kelimpahan kekayaan sumber daya alam, dan tentu dengan jumlah penduduk tidak seberapa besar dibanding daerah lain di Indonesia, kenyataan menunjukkan masih saja miskin. Masih bertengger pada urutan ke-4(empat) provinsi termiskin dari 34 daerah Provinsi negara Indonesia.

Maluku memang salah satu provinsi dari negara Indonesia, tetapi adalah wilayah yang sejak semula atau sebelum dan hingga disatukan dalam negara Indonesia, merupakan komunitas Masyarakat (Hukum) Adat  - MHA. Sebagai MHA, secara sosial kemasyarakatannya terikat dalam tatanan hukum adat. Hukum Adat telah dengan baku mengatur dan menerangkan kepemilikan terhadap suatu wilayah atau objek yang menjadi haknya. Wilayah yang disebut atau ditunjuk, bisa apakah itu berupa wilayah di tanah (kering) daratan maupun di perairan (kali/sungai, dan hingga pun  laut – lepas pantai), sebagai hak ulayat. Suatu hak yang tidak baru dan serta-merta dimiliki, akan tetapi diperoleh secara turun-temurun, sudah sejak awal dinyatakan sebagai milik yang dikuasai secara bersama-sama dalam komunitas suatu masyarakat adat. Tanah dan perairan dimaksud, baik di permukaan maupun di balik permukaan atau di dalamnya, sudah tentu tidak tanpa memiliki atau terdapat sumber daya. Masyarakat pribumi Maluku boleh terpisah-pisah pada begitu banyak pulau, tetapi secara sosial dan budaya merasa sama-sama terikat dalam satu kesatuan MHA Maluku.

Sampai tiba kemudian negara hadir, dan Maluku dinyatakan sebagai salah satu provinsi dari Negara Indonesia, hak(azasi) kepemilikan selaku MHA lalu berubah. Maluku berada dalam keterbatasan posisi kuasa dan lemah dalam daya tawar kepentingan daerahnya. Pembatasan yang sengaja secara sadar dan direncanakan matang melalui regulasi oleh rezim pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Negara lalu diposisikan secara formal, utuh, dan disentaralkan sebagai penguasa yang paling berhak, dan adalah pengatur tunggal dalam eksploitasi dan  pembagi hasil kekayaan SDA. Negara melalui Pemerintah Pusat – Pempus, yang berwewenang memutuskan berhak atau  tidak kepemilikan suatu kekayaan alam di daerah, serta pembagian pendapatan hasil untuk setiap kekayaan sumber daya alam yang digarap dan dikelola di semua wilayah yang terpetakan – teraneksasi, sebagai wilayah administratif kekuasaan pemerintahan negara.

Daerah Penghasil SDA setempat - sebagaimana Maluku di Blok Masela, yang harusnya adalah pemilik SDA dimaksud selaku MHA, dalam posisi tidak bisa mungkin mengelak dari penguasaan Pempus, sebab telah dibatasi hingga dihilangkan samasekali, telah "dieliminasi" hak kepemilikannya secara formal melalui konstitusi negara; Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Konstitusi telah dengan sangat jelas mengatur dan menetapkan negara sebagai penguasa dan pengendali utama kekayaan alam di suatu daerah – provinsi dan apalagi kabupaten/kota. Negara telah mengatur secara mendasar, baku, dan formal, sekaligus membatasi – untuk tidak dikatakan menghilangkan samasekali, hak kepemilikan sebagai daerah penghasil. Dikecualikan kepada Provinsi Papua dan Papua Barat dengan otonomi khususnya, dan yang diistimewakan seperti Daerah Istimewa(DI) Aceh. Dua daerah tersebut diperlakuan berbeda, khusus, dan istimewa, oleh negara dalam hal bagi hasil SDA.

Konsep desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan yang diagung-agungkan  Pempus di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah(sebagaimana sudah  dirubah beberapa kali), hanya untuk urusan yang lebih bersifat “peran-serta” di bidang administarasi birokrasi pemerintahan yang sekadar sebagai kepanjangan tangan Pempus. Daerah diberi otonomi kekuasaan wilayah tetapi dibatasi jarak, luas, volume, dan kapasitasnya. Begitu pula dalam hal pendapatan bagi hasil antara Pempus(negara) dan daerah penghasil SDA, sebagaimana UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang mengatur tentang hubungan keuangan di sektor minyak dan gas, dalam prosentase pembagian benar-benar jauh dari azas keadilan. Daerah penghasil – dengan berbagai masalah, kendala, dan keterbatasan kemampuannya, memperoleh bagian atau porsi pendapatan hasil tidak sebanding dengan kebutuhan maupun posisinya sebagai daerah – wilayah, penghasil SDA. Begitu pula di berbagai aturan secara sektoral, bahkan hampir seragam saling mengukuhkan dalam menyilang – membatasi hingga menghilangkan, kedudukan dan peran daerah penghasil, akibatnya daerah selalu kalah kala berhadapan dengan posisi negara.   

Suka atau tidak, induk regulasi oleh negara dalam melakukan tindakan “pembatasan” kepada daerah penghasil SDA, adalah Ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 – sebelum dan sesudah diamandemen, bahwa ; “bumi dan dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Atas dasar ayat-ayat sakti konstitusi, posisi Maluku beserta kekayaan SDA gas Blok Masela, sudah diatur dalam aturan turunannya yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. UU dimaksud menjelaskan tentang posisi Negara yang memberikan wewenang kepada Pemerintah Pusat dengan status sebagai Kuasa Pertambangan sebagai eksekutor dalam mengatur dan menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi sumber daya alam pertambangan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, di antaranya adalah pertambangan gas di Blok Masela.

Masela adalah nama yang diambil dari nama pulau terdekat, pulau Marsela, untuk menamai area lapangan atau blok gas alam abadi. Kekayaan kandungan gas pada blok Masela hampir tidak terbatas potensinya, sehingga disebut lapangan Abadi atau Blok Abadi. Letak blok gas tersebut berada di perut bumi dasar laut Arafura wilayah Kepulauan Maluku, tetapi adalah “kekayaan nasional” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal (1), dan hak penguasaan sepenuhnya oleh negara diformalkan dalam Pasal (2) UU Nomor 22 Tahun 2001. Sementara Pemerintah Daerah - Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagaimana Ketentuan Umum Pasal (1) Ayat (22) UU yang sama, “ hanya” diposisikan sebagai Badan Eksekutif di Daerah di mana letak area objek pertambangan.

Posisi Maluku – begitupun daerah lain yang sama sebagai daerah penghasil, jelas secara formal telah dieliminasi melalui regulasi dalam UU dimaksud yang dibuat Pemerintah Pusat. Dengan demikian, kuasa kepemilikan tidak pada daerah sebab telah tersingkirkan atau disisihkan oleh kekuasaan Pempus atas nama negara. Daerah pemilik harus mengalah, kecuali dianggap untuk difungsikan hanya sebagai pelaksana kebijakan dan perintah kekuasaan Pempus di daerah. Maka itu, tidak heran kita menyaksikan dalam hampir setiap pembicaraan dan apalagi pengambilan keputusan penting tentang Blok Masela di dalam lingkup  Pempus, maupun ketika berunding dengan pihak Kontraktor(Investor) – Inpex dan Shell, Maluku tidak disertakan. Daerah Penghasil hanya boleh menerima yang diputuskan Pempus(Negara), termasuk keputusan Blok Masela dikelola sepenuhnya(100%) oleh pihak Kontraktor Production Sharing Contract(PSC) - kontrak bagi hasil produksi, Inpex Corporation - Jepang(65% Saham) dan Shell – Belanda(35%Saham).

Blok Masela 100% pun sepenuhnya dikuasai pihak asing. Makna kedaulatan negara dan nasionalisme kebangsaan dalam penguasaan guna memproteksi kekayaan negara sebagaimana amanat konstitusi negara kehilangan esensinya. Kadang menjadi semacam omong kosong politik melalui politisasi jargon patriotis yang terasa manis dan terdengar indah. Pada kenyataannya hanya rayuan palsu kepada rakyat – khususnya di daerah, yang papah cara dan buta jalan untuk mempertanyakannya.

Konstitusi negara, bukanlah Kitab Suci Agama yang adalah Wahyu Allah yang tidak mungkin bisa dapat dirubah manusia. Berbeda dengan Konstitusi yang bisa dirubah-rubah atau diamandemen. Konstitusi UUD 1945 sudah mengalami amandemen malah sampai 4(empat) kali. Begitu pula sistem pemerintahan Negara Indonesia - pascareformasi tahun 1998, telah berubah dari rezim pemerintahan dengan sentralisasi serta konsentrasi kekuasaan yang hanya pada Pempus, menjadi desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan kepada pemerintahan daerah. Daerah diberi wewenang kekuasaan berupa otonomi kekuasaan di masing—masing daerah, khususnya kabupaten/kota, tetapi bukan tidak terbatas. Konstitusi diamandemen lagi, kenapa tidak. Atau kembalikan ke semula, dan diikuti perubahan pada berbagai UU dan serta aturan-aturan turunannya, yang membuat daerah merasa diabaikan peran dan fungsinya dalam sama-sama mengurus kepentingan negara di daerah, dan khususnya untuk hak-haknnya sebagai daerah penghasil SDA.  

Reformasi regulasi diperlukan, sehingga daerah penghasil seperti Maluku, merasa ada keadilan dan kesetaraan oleh negara dalam menikmati porsi kekayaan wilayahnya secara proporsional dan transparan, sehingga mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Negara pun tetap berfungsi serta tetap pula mendapat porsinya, termasuk porsi bagian berbagi dengan daerah lain yang bukan daerah penghasil atau minim SDA. Reformasi juga mengamanatkan keleluasaan dalam kerangka demokratisasi yang menyediakan ruang dan jalur kepada rakyat menyuarakan tuntutannya, agar negara dapat menuntun daerah secara bijak dan adil. Dengan begitu,  dapat menepis munculnya riak arus untuk tidak menjadi gelombang  yang nantinya malah merepotkan negara.

Kampung Bulak, 11 september 2019

Bersambung tulisan bagian ke empat ; “Berebut PI 10% Lupa DBH Blok Masela”
 Bagian ke tiga dari tulisan ; Blok Masela Maluku Hanya Layanglayang

No comments:

Post a Comment