Alifuru Supamaraina: Opas Walanda Dari Sirisori Di Komisi Yudisial

Tuesday, October 8, 2019

Opas Walanda Dari Sirisori Di Komisi Yudisial


             Suatu hari di bulan juni setahun lalu, ketika sedang terjebak macet –hampir setengah jam sudah di tengah jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Tiba-tiba dikejutkan raungan bunyi serine motor patroli polisi jalan raya yang biasa mengawal pejabat negara. Datang dari arah belakang di jalur cepat, mendekat dan berhenti sejajar motor yang beta kendarai di jalur lambat. Ternyata sedang mendatangi mobil yang berada di samping kanan agak di depan dari posisi beta. Semua kendaraan memberi ruang bagi mobil patroli polisi lewat. Tidak lama, satu mobil jenis sedan mewah – kelas kendaraan pejabat tinggi negara(Indonesia), yang sebelumnya sama-sama terjebak macet, keluar dari antrian lalu mengikuti kendaraan polisi pengawal. Nomor polisi dan kode pada plat berwarna merah mobil itu tertulis “RI” berikut dua angka.

Nomor mobil yang sangat beta kenal, sebab pernah menaiki mobil tersebut hanya berdua bersama supirnya – dari anggota militer kesatuan khusus, karena sang pengguna utama yang menyuruh. Sedang yang bersangkutan menggunakan mobil lain. Sore hari di bulan Maret tahun 2007, selepas jam kantor dan hendak pulang bersama ke kediaman pribadinya di daerah Condet. Dari posisi kantor – gedung ITC, di ujung utara jalan Abdul Muis – samping kanan depan Istana Negara Jakarta pusat, hingga daerah Condet Jakarta timur, butuh waktu hanya kurang dari dua puluh menit yang dalam kondisi normal bisa sampai satu jam.

Seperti yang beta saksikan setahun lalu, begitu pula yang pernah beta alami – pertama dikawal motor dan yang kedua dengan mobil patroli, dan nikmati fasilitas khusus dengan perlakuan sangat istimewa  yang diberlakukan menurut tata aturan protokoler kenegaraan untuk kendaraan mobil dinas dengan nomor polisi bertanda RI. Kode RI – Republik Indonesia, diperuntukan khusus bagi pejabat tinggi negara. Seperti mobil Presiden Republik Indonesia  berkode nomor; RI 1, Wakil Presiden ; RI 2, dan seterusnya, hingga termasuk nomor yang dimaksud adalah khusus mobil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia(KY RI). Namun tidak digunakan Ketua KY – sebab alasan intern, tetapi oleh Wakil Ketua KY. Dan  karena kedekatan secara pribadi dengan sosok Wakil Ketua KY, bukan mobilnya tetapi perlakuan khusus dan istimewa yang walau hanya satu kali, pernah beta nikmati.

Seminggu lalu, ketika sedang menata ulang buku-buku, majalah, kliping koran, dan berbagai dokumentasi  tertulis lainnya, kembali diingatkan kepada peristiwa tersebut di atas beserta sosok sang tokoh Wakil Ketua KY, plus kisah anekdot “Opas Walanda”. Hal itu karena di lemari buku terdapat adanya buku biografi tokoh yang bersangkutan yang diberikan kepada beta enam tahun lalu.

Biografi M. Thahir Saimima, S.H,. M.H., berjudul ; PUTRA NEGERI SIRISORI ISLAM, DARI UNIVERSITAS PATTIMURA UNTUK MALUKU DAN INDONESIA, dengan kata pengantar oleh Dr. La Ode Ida – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah(DPD) Republik Indonesia. Buku setebal 469 halaman berbahan kertas lux. Diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta 2010.



Biografi M. Thahir Saimima, S.H,. M.H.,
PUTRA NEGERI SIRISORI ISLAM, DARI UNIVERSITAS PATTIMURA UNTUK MALUKU DAN INDONESIA


Biografi, Politik, dan Hukum

Biografi M. Thahir Saimima SH.,MH., figur dengan jabatan teras kenegaraan sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia. Satu dari sedikit Orang Maluku di pentas nasional sebagai pejabat tinggi negara. Lahir di negeri Sirisori Islam pulau Saparua, 20 Juni 1953. Setelah lulus Fakultas Hukum Universitas Pattimura  Ambon, dipilih jalur praktisi hukum untuk aktifitas pengembangan karier dan hingga memasuki dan menjalani kanca dunia politik. Status yang sudah dijalani beberapa waktu sebelum lulus kuliah, yaitu sebagai Aparat Sipil Negara(ASN) – d/h PNS – Pegawai Negeri Sipil, ditinggalkan guna jalani profesi sebagai Pengacara Praktek/Penasehat Hukum. Mundur diri dari ASN demi memenuhi persyaratan memperoleh status sebagai Advokat pada tahun 1986, dan merupakan orang pertama di Maluku yang memperoleh status tersebut.

Biografi yang tidak sekadar cerita tentang hal-hal terbatas perjalanan hidup pribadi yang bersangkutan, tetapi menampilkan dan menerangkan tentang sebuah cita-cita besar, buah pikiran – ide, dan gagasan. Yang sangat menarik dan membuat luar biasa tentang sesuatu yang dipikirkan di masa awal, terbukti di kemudian hari dapat diraihnya. Lalu dengan posisi “kekuasaan” dalam genggaman, sesuatu itu dapat diperjuangkan maksimal, hingga membuahkan hasil nyata. Bahkan sampai diimplementasikan dengan dieksekusikan dalam praktek sebagai penyelenggara.

Ide dan gagasan yang merupakan materi skripsi untuk meraih gelar sarjana Strata Satu(S1/Sarjana Hukum) pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura. Ternyata  terbukti dapat difinalkan melalui keberadaan posisi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tahun 1999-2004, dari daerah pemilihan Maluku.
Komitmen awal, sesaat sebelum dilantik sebagai anggota DPR-RI, dibangun bersama lima belas orang anggota DPR-RI berlatar belakang profesi sama sebagai Pengacara praktek atau Penasehat hukum dan Advokat(hal.96-98) – satu diantaranya ; Hamdan Zulva yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kesepakan bersama yang hanya ditulis tangan dan ditanda tangani bersama, berisi empat poin, dan salah satu poin penting adalah penataan kembali sistem peradilan. Kesepakatan tersebut dinyatakan ketika berada pada Komisi II DPR – Komisi yang membidangi pemerintahan, hukum dan HAM, pertanahan, dan aparatur negara, sekaligus sebagai anggota Badan Legislasi(Baleg) dan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) dan Panitia Kerja(Panja). Berbagai masalah hukum, politik, dan pemerintahan, serta khususnya berbagai produk perundang-undangan untuk penataan sistem peradilan berhasil selesai dibuat(hal.165-166).

Lepas dari faktor kedekatan – nepotisme, yang sering dan sudah umum dalam merekrut kader partai politik, tetapi syarat kwalitas dan kapasitas pribadi yang direkrut jadi taruhan untuk dapat dibuktikan, sehingga kesan dan hingga muncul tuduhan nepotisme benar-benar tidak terbukti. Merupakan hal lain yang jadi catatan di awal karier politiknya,  ketika sambil berpraktek hukum, direkrut masuk ke dalam dunia politik praktis. Adalah Abdul Azis Imran Pattisahusiwa sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan(DPW.PPP) Maluku - masih bersama Maluku Utara saat itu, yang juga satu kampung – negeri, sama-sama dari negeri Sirisori Islam, diajak bergabung dengan status vote getter dalam Pemilihan Umum(Pemilu) tahun 1982. Selanjutnya masuk dalam struktur kepengurusan partai dan serta menduduki jabatan sebagai Ketua Generasi Muda Persatuan(GMP) Wilayah Maluku – organ sayap(underbow) PPP.

Melalui momen peringatan Hari Ulang Tahun(HUT) GMP di tahun 1987, beta berkesempatan ditunjuk sebagai Ketua Panitia. Seluruh kebutuhan dana untuk biaya kegiatan ditanggung secara pribadi oleh Pak Tha – beta biasa menyapanya. Setumpuk kegiatan  baik sosial maupun pertandingan olah raga dan perlombaan seni beta gagas, dan sukses diselenggarakan. Saat itu tempat pelaksanaan dipusatkan di lapangan Merdeka Ambon, berlangsung selama seminggu penuh. Pertandingan olah raga gawang mini pada pagi dan sore di lapangan bola kaki, dan malam hari berbagai mata lomba seni dipentaskan di tribun lapangan Merdeka. Pemakaian lapangan Merdeka atas izin tertulis dari Ketua Komda PSSI  Maluku ; Oni Wattimena. Siang-malam selama seminggu, lapangan Merdeka digunakan beraktifitas oleh GMP, yang dengan  melibatkan peserta laki-laki dan perempuan, anak-anak, remaja, dewasa, dari beragam latar belakang strata sosial, ekonomi, (partai)politik, maupun agama, di kota Ambon. Momen paling “demokratis” di zaman rezim Orde Baru – Golkar, berkuasa.

Dari sini – momen HUT, sepengamatan beta telah ikut berkontribusi menunjang jejak langkah karier politik yang saat itu mulai dibangun, dan ternyata berjalan mulus serta sukses. Selain cerdas, kokoh, dan sukses dalam menjalankan profesi utamanya sebagai Advokat, jenjang karier politiknya terus menanjak menjadi salah satu tokoh muda politisi Maluku yang diperhitungkan. Berturut-turut, setelah masuk dalam kepengurusan PPP Wilayah Maluku, kemudian terpilih sebagai anggota DPRD Maluku(1992-1997) dan (1997-1999). Tahun1997 ditunjuk sebagai penjabat Ketua DPW. PPP Maluku. Pada Pemilihan Umum 1999, terpilih sebagai anggota DPR RI, serta terpilih sebagai Ketua DPW. PPP Maluku dalam Musyawarah Wilayah PPP Maluku di Jakarta tahun 2000, ditunjuk sebagai pimpinan Fraksi PPP dalam Sidang Umum MPR tahun 2001 dan pimpinan Fraksi PPP di DPR , dan terpilih sebagai Sekretaris Pengurus Harian Pusat Dewan Pimpinan Pusat(DPP) PPP (2003-2008). Selanjunya di tahun 2005 terpilih sebagai anggota Komisioner KY-RI, dengan posisi jabatan Wakil Ketua, dengan melepas jabatan pada partai politik DPP PPP.
Berdasarkan amandemen ketiga atas Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR) 1-9 November 2001, antara lain membentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945(Amandemen), Komisi Yudisial bertugas untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Selaku Komisioner dengan posisi sebagai Wakil Ketua, M. Thahir Saimima dengan pengalaman dan kematangannya di dalam organisasi kader(HMI), partai politik(PPP), dan praktisi hukum(Advokat), telah berkontribusi maksimal dalam peletakan dasar kontruksi struktur dan manajemen organisasi serta penguatan kelembagaan Komisi Yudisial.


Opas Walanda

Menarik untuk diangkat, ketika istilah tersebut berlatar peristiwa lucu dari kejadian nyata suatu ketika pada masa lalu di Negeri Sirisori Islam(Louhata –nama adat) – kampungnya M. Thahir Saimima. Kisah ini, kemudian di-copy paste dan disosialisasikan – diceritakan Pak Tha, saat waktu senggang kepada karyawan KY,  yang secara personal berasal dari daerah beda budaya. Tentu ini sudah di lingkungan formal dan hight class di lembaga tinggi negara Komisi Yudisial, yang ternyata cerita dimaksud malah berdampak sangat positif karena mampu membangkitkan semangat dan memicu  kemandirian kemampuan dalam bekerja untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang diemban. Para karyawan – khususnya staf di bidang tugas pimpinan Pa Tha, tidak ingin dikatakan seperti Opas Walanda, oleh karena kinerjanya jelek, sering balik bertanya, atau tidak berusaha sendiri menerjemahkan perintah atau tugas yang didelegasikan atasannya.

Sebutan Opas Walanda digunakan untuk mengistilahkan seseorang atau orang lain yang sering atau bisa disuruh atau diperintah melakukan sesuatu apa saja dengan patuh, tetapi daya pikir lemah – nyaris bodoh. Istilah dulu saat semasa zaman penjajahan Belanda. Para pesuruh atau yang diperbudak oleh orang-orang Belanda disebut Opas, yang bagi orang Maluku sudah umum dan  sering digunakan sekadar “meledek”, dan sudah tidak dianggap sebagai sindiran yang bermaksud menyakiti, baik oleh yang menyebut atau yang dituju.

Alkisah, suatu hari Bapa Raja Sirisori Islam kehadiran tamu, seorang juragan – nahkoda atau jurumudi, sebuah perahu layar yang sedang berlabuh di pelabuhan negeri Sirisori. Kehadiran juragan perahu menghadap Bapak Raja untuk melapor kehadirannya dan agar pas jalannya ditanda tangani. Bapak Raja kemudian memanggil Marinyo – sebutan untuk petugas “Humas”- Hubungan Masyarakat, dalam pemerintahan adat di Maluku, untuk mengecek kebenaran laporan si juragan langsung pada perahu di pelabuhan. Sekembalinya Marinyo dari pelabuhan,  kepada Bapak Raja, dia melapor perahu layar tersebut berasal dari pulau Geser, pulau di ujung timur pulau Ceram. Bapak Raja bertanya lagi, apa muatannya. Marinyo menjawab tidak tau. Dia balik lagi ke pelabuhan menanyakan apa muatannya. Marinyo balik melapor bahwa muatannya sagu geser. Bapak Raja balik tanya, ada berapa ton sagu muatan perahu. Marinyo menjawab tidak tau, sehingga harus kembali ke pelabuhan bertanya lagi berapa ton muatan, lalu kembali melapor jumlahnya. Bapak Raja lanjut bertanya, berapa orang anak buah perahu, Marinyo juga tidak tahu, dia balik lagi ke pelabuhan dan balik melaporkan anak buah perahu ada sekian orang. Bapak Raja dibuat kesal oleh Marinyo yang setiap ditanya selalu menjawab tidak tau dan harus bulak-balik bertanya lebih dulu, akhirnya keluar ucapan Bapak Raja kepada Marinyo ; “ose ini kaya Opas Walanda” – kamu ini seperti Opas(pesuruh) Belanda.    

Cerita di atas sempat diceritakan ulang(hal.396) salah satu staf KY. Selain itu, tidak sebatas hal-hal pribadi, tetapi banyak hal umum tentang ilmu dan pengetahuan tentang hukum dan perundang-undangan, politik, HAM, dan pemerintahan. Juga ide dan gagasan, serta  pemikiran, tentang dan untuk Maluku dan Indonesia. Dan tentu saja anekdot Opas Walanda dari negeri Sirisori Islam “naik kelas” hingga level KY.

Sepertinya, tidak selalu sesuatu itu berdasarkan teori ilmiah. Ada saja hal biasa yang terabaikan dan karena tidak dipandang secara jeli dari suatu budaya dalam keseharian kehidupan sosial. Kadang tersimpan nilai luhur yang dapat dijadikan pembelajaran moral, apabila dikemas dengan daya olah yang cerdas dan terampil, dapat saja bernilai positif dan tidak bakal kadaluarsa atau”kuno”.

Pengecualian bagi beta tidak sepemikiran dengan sang tokoh, tentang pemekaran wilayah yang masih juga disarankan untuk dilanjutkan. Karena pemekaran yang cenderung dipaksakan, malah kebablasan. Dapat berakibat makin melebarkan retakan ikatan budaya dan sosial masyarakat Maluku yang untuk hal tertentu sangat eksklusif menjadi mudah terakulturasi. yang makin mudah melemahkan hingga menggerus makna falsafah ke-Maluku-an, yang bisa jadi akan kehilangan identitas jati diri sesungguhnya sebagai kesatuan orang Maluku. Belum lagi muncul persaingan hingga perseteruan batas wilayah karena keakuan dan egosentris kedaerahan sebagai daerah baru. Maka itu, ide dan gagasan pemekaran wilayah yang sebegitu masif dengan alasan rentang kendali sebagai wilayah kepulauan, dan agar kucuran dana dari pemerintah pusat makin besar – terbukti APBD Provinsi dan kabupaten/kota di Maluku yang sekarang pun masih saja “tekor, minus, defisit”, akibat minimnya(sangat sedikit) alokasi dana dari pemerintah pusat. Belum lagi diperparah ketidak mampuan pemerintah daerah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah(PAD). Maka itu, bukan solusi utama apalagi dianggap  tunggal – tidak lain kecuali pemekaran. Jangan-jangan nanti di Maluku malah muncul pengganti istilah opas walanda menjadi opas Indonesia, akibat Maluku telah pecah dan terurai hingga makin lemah dalam posisi tawar, akhirnya kehilangan segalanya.

Selebihnya, inilah figur langka dari timur Indonesia, yang mestinya masih dibutuhkan untuk tetap eksis mengisi formasi dalam struktur yang relevan di negara ini. Sekalipun seperti diakui sendiri oleh Dr. La Ode Ida(Kata Pengantar;hal.iv), bahwa “persoalannya adalah pengaruh dari dominasi kultur di negeri ini, diakui atau tidak, selalu meniscayakan terabaikaannya figur-figur dari kawasan yang budayanya secara politik kebangsaan diposisikan marjinal.”
  
Kampung Bulak, 08 November 2019
M. Thaha Pattiiha

No comments:

Post a Comment