Alifuru Supamaraina: PELA GANDONG ; Warisan Budaya Takbenda Bangsa Alifuru

Thursday, October 31, 2019

PELA GANDONG ; Warisan Budaya Takbenda Bangsa Alifuru

Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Pela Gandong
Pela Gandong - Ilustrasi(by; @embun01/2019


Prolog
          Maluku memiliki kekayaan budaya yang unik, khas, inspiratif, dan beda, yaitu budaya Pela Gandong. Satu dari warisan kekayaan budaya Bangsa Alifuru – seperti Falsafah SiwalimaUma Tau - (Mata Rumah/Fam/Marga), Sastra KapataTom-Tad – hikayat lisan, dan hukum adat Larvul Ngabal di kepulauan Kei, dan lain-lain, yang patut terus dikaji untuk diberdayakan, dengan cara dimanfaatkan sebagai alat pemersatu Orang Maluku, guna penguatan identitas jati diri ke-Maluku-an.
Budaya Pela Gandong terbukti kaya makna dan fungsi, yang mampu bertahan melewati ragam hambatan perjalanan seiring perubahan masa dan pergantian generasi manusia. Pela Gandong – dan serta warisan kekayaan budaya Bangsa Alifuru lainnya, telah menjadi kebudayaan Maluku, tetapi esensi dasar dan akar yang adalah cikal bakal - awal sesungguhnya, yang melatar belakangi sejarahnya belum secara detail dan sempurna diungkap. Latar belakang sejarah Pela Gandong bertumpu pada riwayat kehidupan Bangsa Alifuru, di mana Maluku hari ini, terlahir dari Alifuru di masa lalu, karena Alifuru Itu Maluku. Tetapi masih saja “malu” diungkap, atau, entahlah.
Tema bahasan judul tulisan ini terdiri dari beberapa rangkaian. Mengenai latar belakang sejarah kehidupan arif Bangsa Alifuru hingga tercipta budaya Pela Gandong yang dikenal sebagai kebudayaan Maluku sekarang. tentang latar belakang dan pengertian Pela Gandong, klasifikasi dan filosofi Pela, serta budaya Pela Gandong sebagai warisan takbenda Bangsa Alifuru. Rangkaian tulisan ini tidak banyak menggunakan referensi, khususnya mengenai budaya Pela Gandong yang sudah pernah ditulis dan dipublikasikan sebelumnya. Secara pribadi penulis, pengetahuan disadur dari pemahaman sebagai generasi penerus budaya Bangsa Alifuru saat ini, dan disimpul dari tutur sejarah – oral story, kalangan tokoh adat Maluku, khususnya dari pulau Seram.

Pela Gandong Dalam Sejarah Kebudayaan Maluku
Berawal di akhir abad ke empatbelas, bangsa Eropa yang sebelumnya hanya dijadikan pasar – konsumen(pembeli), terpaksa berusaha mencari sendiri di mana letak wilayah sumber komoditi rempah-rempah yang telah mendunia selama berabad-abad lamanya. Era Revolusi Ekonomi dunia pun merebak, dimulai atau berawal dari setelah kepulauan rempah-rempah – “The Spices Island”, ditemukan bangsa Eropa – dua puluh lima tahun lebih masa pencarian(1497-1512) - (Baca; The Spice Islands” dan Magellan, Entry Point Menuju Dunia Baru - The Spice Islands dan Ferdinand ).
Usaha pencarian untuk menemukan wilayah sumber rempah-rempah cengkeh dan pala, yang diistilahkan – khususnya cengkeh, sebagai “emas coklat”. Perumpamaan dari nilai mahalnya harga cengkeh, yang di pasar Eropa saat itu untuk segenggam cengkeh setara nilai sama dengan segenggam logam emas.
Bagi Maluku, itu menandai masa dimulainya sejarah Maluku tertulis, yang sebelumnya masih sebatas cerita mythosoral story, yang disalin dari mulut generasi satu ke generasi berikutnya. Bila pun ada yang sudah tertulis – beraksara Arab gundul (Arab-Melayu). Tetapi hanya berupa hikayat serta catatan internal yang terdapat pada beberapa dari kerajaan yang terbentuk di bagian utara kepulauan Maluku – Moro, Loloda, Jailolo, Tidore, Bacan, dan Ternate (Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950. Jakarta: Gora Pustaka Indonesia, 2007). Di masa itu, konsentrasi bangsa asing – Eropa, yang hadir ke Maluku lebih banyak menulis tentang kepentingan politik penguasaan wilayah guna memonopoli perdagangan hasil rempah-rempah – cengkeh dan pala. Berkisah tentang peperangan – penaklukkan, antara sesama bangsa Eropa di Maluku, dan bangsa Eropa dengan kerajaan-kerajaan di Maluku. Selebihnya, adalah tentang misi keagamaan Katolik dan Protestan, dan sedikit mengenai ilmu pengetahuan tentang sumber daya alam bumi Maluku.
Saat yang sama, budaya pertalian hubungan Gandong sudah ada jauh waktu sebelumnya, serta lahirnya budaya perikatan hubungan Pela yang cenderung semacam gerakan budaya dalam diam. Nyatanya tidak sama sekali terbaca penjajah bangsa Eropa sehingga tidak terdapat catatan untuk itu. Kecuali yang agaknya dapat dibaca dan berhasil “dimatikan”, adalah usaha untuk menjauhkan bangsa pribumi kepulauan Maluku dari budaya kehidupan asli sesuai asal-usul sebelumnya. Seperti melarang cara berpakaian tradisional, melarang penggunaan bahasa Alifuru dalam berkomunikasi sehari-hari, serta upacara – acara ritual, adat karena dianggap perbuatan mistis – memuja setan, yang bertentangan dengan ajaran agama yang disebarkan misionaris bangsa Eropa.
Akibatnya fatal, sebab beberapa bahasa lokal pribumi Maluku khususnya di negeri-negeri beragama Nasrani kemudian lenyap. Terkecuali bahasa(pesan) Kapata, atau dalam sebutan lain yaitu Lan(Lani) atau Kahua, yang lebih menyerupai karya sastra. Bahasa kapata berbentuk pesan, yang memuat catatan sejarah, serta ajaran moral kebajikan. Bahasa kapata menggunakan bahasa tana. Bahasa tana adalah bahasa Ibu – mather language, bangsa Alifuru, disebut juga Souw Upa – bahasa Alifuru(Souw = bahasa, Up(f)a = Alifuru),  atau sebutan lain ; Souw m’tuan – bahasa tua/tua-tua.  Bahasa kapata adalah bahasa satu arah, sebab tidak dapat digunakan untuk saling berkomunikasi secara dua arah. Bahasa kapata – saat dipaksa untuk dihapus penjajah Belanda, yang masih tetap dipelihara dalam ingatan sebagian tokoh atau masyarakat adat setempat di hampir semua negeri adat, yang kemudian secara sembunyi-sembunyi dituturkan untuk disalin pada ingatan generasi penerusnya agar diteruskan secara turun-temurun.
Penjajah juga tidak sepenuhnya berhasil dalam hal melarang praktek kepercayaan menurut adat istiadat bangsa Alifuru. Secara tersembunyi, keyakinan kepada kepercayaan nenek moyang dalam bentuk upacara adat tetap saja dipelihara dan dijalankan. Setidaknya hampir di seluruh negeri(kampung) adat di Maluku masih memiliki “batu pamali” atau dolmen, situs spiritual dari masa lalu yang tetap dipelihara sebagai salah satu unsur kelengkapan syarat sebuah negeri adat.
Bukan saja agama Kristen, agama Islam pun yang disebar bangsa Arab, Persia, Melayu, dan Jawa, melalui jalur perdagangan emas coklat, tidak dapat pula melenyapkan budaya atau tradisi anutan yang diwariskan nenekmoyang – pendahulu, bangsa Alifuru. Agama-agama Samawi(Agama Ibrahim) – Kristen Katolik, Protestan, dan Islam, oleh pribumi Maluku boleh saja dianut secara penuh kesadaran dan keyakinan – diimani, tetapi tradisi warisan nenek moyang tetap pula dipelihara.
Budaya Pela Gandong yang sebelumnya sudah ada, ternyata efektif menjadi alat dan cara untuk saling membantu menolong sesama sekaligus menyatukan. Pela berfungsi sebagai cara untuk mengikat antara dua atau lebih para pihak antara negeri, dan Gandong diangkat untuk diingatkan kembali akan hubungan genekologis. Keduanya bertujuan sama-sama saling mengikat maupun kembali terikat hubungan persaudaraan. Hubungan antara manusia yang berbeda ikatan dengan hubungan persahabatan, apalagi hanya pertemanan.
Hubungan Gandong teringatkan dan kembali dibangkitkan untuk dimanfaatkan, serta begitu pula hubungan Pela marak terjalin, ketika kondisi Maluku dan sesama orang Maluku sedang berada di dalam situasi perpecahan yang sengaja dibangun penjajah bangsa Belanda. Demi kepentingan keuntungan ekonomi dari hasil bumi rempah-rempah Maluku, Belanda menerapkan praktek politik devide et impera. Politik “adu domba” sesama orang Maluku – rakyat dengan rakyat, rakyat dengan tokoh atau pemimpin lokalnya, dibenturkan untuk terpecah belah. Sulit menyatu, sehingga menjadi lemah kekuatannya, kemudian dengan mudah ditundukkan, dikuasai tanpa perlawanan berarti. Dengan begitu, mudah untuk di”rampok” hak milik kekayaan sumber daya – hasil komoditi, alamnya.
Tidak saja politik devide et impera, Belanda juga melakukan politik pelayaran armada hongi - www.voc-kenniscentrum.nl, atau Hongi Tochten – akan dibahas khusus pada tulisan tentang Hongi Tochten. Munculnya ancaman pelayaran oleh keberadaan Bajak Laut – perampokan di lautan, yang dikomandoi orang-orang Tobelo yang tersingkir dari kerajaannya di bagian utara kepulauan Maluku dan eksodus ke wilayah Seram Pasir di pantai utara pulau Seram. Ancaman bajak laut tidak saja mengancam pelayaran bangsa asing, tetapi juga pelaut pribumi kepulauan Maluku sendiri.
Saling bantu saat sedang diterpa masalah, ketika sedang terancam diserang musuh, terdampar atau kandas karena badai dan gelombang sehingga perahu armada hongi – disebut perahu kora-kora, bocor atau rusak, terdampar dalam pelayaran untuk urusan atau karena tujuan lain, kelaparan karena kehabisan bekal makanan dan minuman dalam pelayaran. Banyak alasan dan sebab yang berintikan tindakan saling memberi pertolongan secara kemanusiaan disaat jiwa sedang dalam kesulitan, maupun hingga usaha bantuan guna penyelamatan nyawa sesama manusia, yang tentu tidak selalu sudah saling kenal-mengenal sebelumnya. Jiwa kemanusiaan para pendahulu Orang Maluku saat itu, betapa telah sangat bijak dan bermoral positif luar biasa, rasa dan sikap saling menghargai dan berterima kasih, melahirkan tatanan budaya berupa jalinan saling mengikat hubungan persaudaraan secara permanen, atau disebut hubungan Pela.
Sekadar sebagai contoh, adanya hubungan pela antara negeri Kilang - Hukurila,  di timur pulau Ambon dengan negeri Werinama di selatan-timur pulau Seram, yang disebut Pela Batukarang atau disebut juga Pela Keras – akan jelaskan pada subjudul berikut. Ikatan Pela yang terhubung ketika perahu kora-kora pedayung dan para Kapitan – pemimpin yang memiliki kekebalan tubuh terhadap senjata tajam serta berani dan mahir berperang, dari negeri Kilang terdampar karena rusak dan ditolong oleh Kapitan dan warga pribumi negeri Werinama. Pela – klasifikasi Pela Keras, yang menghubungkan negeri Kaibobu di selatan-barat pulau Seram dengan negeri Waai di utara-timur pulau Ambon. Awalnya terjalin oleh sebab bantuan yang diberikan Raja Waai untuk mempertemukan Raja Kaibobu dengan Gubernur Jenderal Belanda di kota Ambon, guna mengusir bajak laut yang mengancam para pelaut atau nelayan negeri Kaibobu dan negeri-negeri lain di laut selat Honimua maupun di laut Seram dan Buru.

Contoh hubungan Gandong, seperti antara negeri  Tamilou(pulau Seram), Sirisori, Haria (pulau Saparua), Hutumuri, dan Wa’ai(pulau Ambon). Antara negeri Buano(pulau Buano), Ulath(pulau Saparua), dan Oma(pulau Haruku). Gandong antara pulau Nusalaut(7 Negeri) dan pulau Ambalau(7 Negeri), dan lain-lain.
Oleh sebab pertemuan-pertemuan antara sesama pribumi kepulauan Maluku yang melahirkan sikap saling memberi pertolongan dan bantuan dikala sangat dibutuhkan, terjadi jalinan persaudaraan yang diikat secara erat melalui budaya pela. Dan karena pertemuan-pertemuan antara pribumi yang telah terpisah-pisah tempat atau wilayah pulau bermukim, tetapi karena daya ingat dan pemahaman sejarah perjalanan kehidupan pribumi Alifuru, dan serta ditunjang bawaan nama Mata Rumah – nama marga, memudahkan kembali terhubung ikatan oleh kesatuan dalam asal usul awal wilayah bermukim dan juga diketahui awal asal usul dalam garis keturunan yang sama. Sekalipun telah hidup terpisah, tetapi berdasarkan sejarah asal usul, maka hubungan persaudaraan sedarah atau sesama satu garis keturunan tetap terhubung atau kembali terjalin, yang disebut ikatan Gandong.


Baca juga ;


Ikatan oleh pola hubungan Pela Gandong terbukti efektif menjaga kesatuan ikatan persaudaraan sesama pribumi kepulauan Maluku, yang selama masa penjajahan terus menerus dipecah belah. Sebaliknya mampu menghalau dan bertahan dari berbagai cara yang dipraktekkan penjajah, melalui peperangan langsung, penghilangan budaya asal melalui akulturasi budaya pribumi dengan budaya bangsa asing, memanfaatkan isu perbedaan keyakinan agama, atau pun politik adu domba antara sesama pribumi,
Situasi yang sama kembali berulang di masa sudah bernegara – Indonesia, setelah merdeka dari penjajahan bangsa asing. Kepentingan politik nasional “pembesar” Indonesia di Jakarta diarak dan dilokalkan ke Maluku – mereka sangat paham sensinya karakter keagamaan Orang Maluku sebagai pemicu konflik. Momentum yang kemudian dimanfaatkan pihak berkepentingan dalam politik lokal di Maluku. Antara “pemain” elit nasional dan local, sama-sama memainkan peran kepentingan politiknya dalam agenda berbeda melalui uji nyawa rakyat Maluku. Korban nyawa dan harta ribuan rakyat Maluku secara sia-sia untuk kepentingan yang tidak dipahami, dan menimbulkan luka dendam antara dua pihak – terbagi menurut agama yang dianut(Muslim dan Nasrani), yang berseteru mengadu nyawa.
Sampai ketika situasi tidak lagi bisa mampu dikuasai untuk dihentikan aparat keamanan negara(Indonesia) – secara kasat mata malah secara personal ikut terlibat di masing-masing pihak. Muncul paket “sang penyelamat”, berisi nilai-nilai arif dari kekayaan budaya yang diwariskan bangsa Alifuru. Warisan budaya ikatan persaudaraan Pela Gandong mengambil alih peran negara, untuk menertibkan dan mengamankan situasi, padamlah “peperangan” antara sesama pribumi Orang Maluku – pihak lain juga ikut terlibat, hingga akhirnya mampu mendamaikan serta menyatukan kembali.
Terbukti dan teruji, bahwa budaya “kuno” - Pela Gandong, warisan tak benda bangsa Alifuru tidak selalu tidak berarti apalagi kadaluarsa.    
Kampung Bulak, 01/11/2019
Bersambung ke sub judul ; Pela Gandong ; Latar Belakang dan Pengertian

1 comment: