Alifuru Supamaraina: TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM

Tuesday, March 10, 2020

TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM

Oleh M. Thaha Pattiiha*) 
TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE  KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM
Brosur kampanye tentang percepatan pemindahan Ibukota Provinsi ke Makariki di pulau Seram 
(Sumber : Brosur Kampnye Paslon(Diedit;mth_@embun01, 08032020)
Politik itu - juga, seni. Seni menata kata dan meramu cara. Dimana yang di-”kiblat”-i oleh politik itu semata-mata hanya - demi, kepentingan, kepentingan bagaimana meraih keinginan - apapun caranya dan bagaimanapun sulitnya. Suatu keinginan seseorang atau sekelompok orang berlatar kepentingan yang bisa saja multiimpian. Dalam praktek politik praktis - yang ujungnya guna meraih kekuasaan, urut-urutannya bisa dimulai dengan memilih kata untuk meramu kalimat indah, manis, melankolis, “mengawan-awan”, agar menyentuh nurani, meluluhkan bathin, dengan melalui sesuatu yang diimimpikan sasaran, tebar asa penuh optimisme, iyakan saja apapun kehendak publik. Dengan begitu, publik terpesona, merasa keinginannya bakal terpenuhi oleh sang “penebar janji”. Benar-benar seperti implementasi pesan taktik dan strategi elektabiliti Syafullah Fatah - pengamat dan konsultan politik; yaitu “sentuh nuraninya, (lalu) patahkan logikanya.” Teori berpolitik - praktis, memang butuh unsur seni, karena politik adalah ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional ataupun inkonstitusional. Hubungannya dengan konteks judul esai ini, terdapat “kata-kata kunci” wacana - isu, politik paling menarik bagi publik Orang(pulau) Seram yang pernah disosialisasikan - rekam jejak digitalnya cukup jelas, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah - Pilkada - Langsung, salah satu pasangan calon(paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku tahun 2017, yaitu; “Percepatan pemindahan ibukota Provinsi ke Seram.”

Konsep pilkada langsung merupakan sistem yang dianggap paling demokratis karena rakyat memilih secara langsung kepala daerah sehingga legitimasi terhadap proses dan hasil pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan untuk mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan, oleh karena itu pilkada langsung diniatkan sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara di tingkat lokal. Pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal ini merupakan ikhtiar untuk mencari pemimpin lokal yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan representatif (Prihatmoko, 2005: 34). Pilkada langsung merupakan konstruksi Pasal 18 UUD 1945, menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilh secara demokratis” ini tidak bisa ditafsirkan kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana diatur dalam UU No 22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perpu No 1 Tahun 2014. Perpu ini dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 2015 hingga kemudian berubah menjadi UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota secara langsung oleh rakyat. Sehingga Gubernur dan Wakil Gubernur, Kepala daerah terpilih harus memaknai hakikat pilkada langsung, tidak dipandang sebagai ajang perebutan kekuasaan antarkandidat dan antarpartaipolitik(parpol) di belakangnya, yang berarti diskursus demokrasi lokal hanya melibatkan elite dan parpol, tidak demikian (Wiwin Suwandi, 2016).

 Pilkada Maluku sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu dan paslon terpilih dilantik pada tahun 2018. Telah 2(dua) tahun mengeban amanat rakyat Maluku dan menjalani masa jabatan. Gubernur dan Wakil Gubernur, saatnya - seharusnya, memenuhi dengan merealisasikan janji-janji semasa kampanye. Sebagai pertanggungan jawab politik kepada masyarakat yang memilihnya(ibid). Antara lain tentang pemindahan ibukota provinsi Maluku dari kota Ambon di pulau Ambon ke Makariki di pulau Seram. Janji kampanye yang diucap dalam kampanye panggung calon Gubernur Murad Ismail dan calon Wakil Gubernur Barnabas N. Orno (Murad-Barnabas), dan janji itu ditulis dalam brosur yang disebarkan ke publik pemilih. Poin dimaksud tentu bukan satu-satunya sebab masih terdapat 15(lima belas) dari 16(enambelas) poin program-program unggulan paslon Murad-Barnabas.

Setidaknya pilihan isu politik Tim “Thing Tank” paslon Murad-Barnabas tentang pemindahan ibukota tentu sudah diprakirakan - diukur secara matematika politik, bakal bisa mendongkrak keyakinan pemilih Orang Seram untuk menjatuhkan pilihan kepada paslonnya. Dan pilihan isu tersebut setelah dikampanyekan, ternyata terwacanakan secara baik, dan meluas di kalangan Orang Seram. Cukup efektif berpengaruh dalam membentuk opini pemilih, khususnya Orang Seram - baik di pulau Seram maupun yang bermukim di tempat lain di Maluku. Terdapat keyakinan kuat terhadap latar belakang paslon - lebih khusus kepada kapasitas calon gubernurnya - Murad Ismail, yang dianggap sangat kredibel akan memenuhi janjinya ketika setelah terpilih. Meskipun saat itu terdapat calon Gubernur “pribumi” Orang Seram, tetapi wacana dimaksud cukup kuat mengarahkan pilihan Orang Seram secara signifikan kepada Murad-Barnabas. Pilihan yang terbukti kemudian benar terpilih dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku periode 2018-2023. Pasangan Murad-Barnabas sekarang sedang menjalani masa jabatannya.

TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE  KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM
Acara pencanangan pemindahan Ibukota Provinsi Maluku di Makariki pulau Seram, Sabtu 24 Agustus 2003 (Foto; Istimewa)

Rencana pemindahan ibukota Provinsi Maluku sudah dijejaki saat kepemimpinan Gubernur Albert Ralahalu. Alasan dan pertimbangan yang mendasari rencana tersebut adalah percepatan pembangunan perkotaan di kota Ambon di waktu mendatang tidak lagi seimbang dengan daya dukung kelayakan, dengan indikator adanya luas wilayah dan angka  pertumbuhan penduduk. Pertimbangan indikator lain adalah potensi wilayah di Makariki – pulau Seram, dianggap cukup mendukung untuk dikembangkan sebagai Ibukota Baru Provinsi Maluku (tabaos.id). Tepatnya, Sabtu, 24 Agustus 2013, dilakukan peletakkan batu pertama serta penandatanganan prasasti oleh Gubernur Albert Ralahalu dan Ketua DPRD Maluku, turut menyaksikan  Wakil Gubernur Maluku Said Assegaff, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal, dan Anggota DPRD Maluku. Ketika kembali diwacanakan saat masa kampanye pilkada 2017, memunculkan kembali suatu harapan akan segera direalisasikan karena sudah pasti akan ada perubahan berarti mengikuti aktifitas berpindahannya ibukota provinsi di pulau Seram.

Bagi Orang Seram yang telah turut serta berkontribusi secra electoral, terima atau tidak terima, harapan agar direalisasikan janji politik saat kampanye pilkada ternyata harus dirasionalisasikan melalui semacam pemahaman melalui teori “Kelirumologi” - meminjam istilah Jaya Suprana - pendiri Musium Rekor Indonesia,  bahwa itulah kenyataan dari suatu janji politik. Mungkin ada kekeliruan dengan janji itu, atau Orang Seram yang keliru mengira itu suatu janji. Senin, 09 Juli 2019, Gubernur terpilih Murad Ismail membantah dengan mengatakan; TidakTidak ada pemindahan Ibukota”. Saya sudah ke Jakarta untuk membicarakan masalah tersebut. Tapi, tidak mudah pindahkan Ibukota. Sebab, kita pindahkan Ibukota, berarti harus pindahkan juga Polda dan juga markas Pangdam, Kajati dan lainnya.”(tabaos.id, ibid)

Elektabilitas elektoral bisa mungkin akan terpengaruh kepada pemilih yang pilkada lalu menentukan pilihannya berdasarkan isu pemindahan ibukota. Begitupun moral politik paslon, akan dijadikan pertimbangan pemilih secara rasional, dengan menakar ulang kemana arah pilihannya bilamana yang bersangkutan kembali mengikuti pilkada dan memunculkan isu politik baru di masa kampanye - tentu perlu ditindak lanjuti keterkaitannya dengan cara disurvei. Tetapi akan ada penilaian tentang kejujuran untuk penepatan janji-janji saat masa kampanye. Kesimpulannya menjadi pembelajaran politik dan ukuran moral untuk menentukan arah kepercayaan pemilih apakah masih akan memilih yang bersangkutan atau sebaliknya meninggalkannya. Ukurannya sederhana dan masyarakat pemilih yang sekarang makin cerdas memahami dunia perpolitikan. Akan dikatakan “janji yang lama - sebelumnya, saja belum ditepati, mana mungkin akan menepati janji yang baru”. Kemungkinan lain, isu kegagalan memenuhi janji tersebut boleh jadi akan diangkat oleh “lawan tanding” paslon di pilkada mendatang, tetapi hanya sebatas itu. Sebab tidak bakal efektif lagi bila hendak diangkat dalam kampanye. Ukurannya butuh kapasitas paslon yang mampu meyakinkan ketika membonceng ulang isu pindah ibukota, agar tidak menjadi boomerang. Sebaliknya bagi Murad-Barnabas - masih cukup waktu dan kesempatan, berkewajiban menjelaskan mengapa janji itu batal, selain fator kendala pendanaan, apakah akan diganti hal lain, atau memang hanya sebatas “janji kampanye” demi meraup suara pemilih Orang Seram.

Tipekal pemilih dalam hajatan politik pemilihan umum(Pemilu) yaitu; pemilih  tradisional, pemilih emosional, dan pemilih rasional, tidak lagi menetap karena dipengaruhi pengetahuan politik masyarakat dari pemilu ke pemilu telah membuat kian melek politik. Pemilu lokal berupa pilkada langsung, umumnya orientasi penentuan pilihan menunjukan trend peningkatan pemilih rasional dari pada pemilih tradisional yang masih cenderung berpola pragmatis dan primordial. Kecenderungan lain sebagai dampak negatif pilkada langsung adalah adanya pemilih terdaftar yang pasif, tidak menggunakan - lagi, hak pilihnya akibat ingkar janji kandidat terpilih dan selain hal lain seperti perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme(KKN), selain dari penilaian kepada kapasitas - kemampuan, para calon baru atau calon incumbent - petahana,  di periode kepemimpinan sebelumnya. Ikut terpengaruh pula yang memperbesar pemilih pasif, adalah pemilih tradisional yang menganggap tidak akan mendapat atau berpengaruh apa-apa bila hak pilihnya digunakan atau tidak digunakan. Kondisi ini – menurunnya penggunaan hak pilih, mungkin hanya bisa tertolong bilamana pemilih emosional - pendukung utama kandidat, maksimal menggunakan hak pilihnya.

Tipekal dan trend pemilih demikian tersebut di atas, dalam hubungannya dengan tema yang dibahas – janji pindah ibukota, berlaku hanya kepada pemilih Orang Seram dari kalangan “pribumi” beretnis Alifuru yang bermukim di luar pulau Seram maupun yang di pulau Seram - dalam hubungan ini masyarakat di kecamatan Teon Nila Serua(TNS) - serta  etnis Alifuru asal pulau-pulau lain -  sudah termasuk di dalamnya. Dan belum tentu berlaku bagi keberadaan penduduk Seram umumnya yang saat ini makin menunjukan peningkatan signifikan, seperti di Seram bagian barat yang sudah didominasi oleh penduduk terkonsentrasi - selain wilayah lain di Seram, asal Sulawesi Tenggara, dan asal wilayah Indonesia lainnya yang bermukim di daerah transmigrasi. Pemilih disebut terakhir mungkin yang tidak perduli dengan janji politik dimaksud. Bagi Orang Seram - rencana pindah ibukota yang batal, sudah pasti jadi catatan_kaki yang akan kembali ulang dibaca saat pilkada mendatang.

Para politikus terbiasa menebar janji. Janji politik yang akan berakhir ketika telah mendapat suara pemilih. Secara etika dalam moral perpolitikan tidak dianggap hal luarbiasa yang butuh klarifikasi langsung dan cepat. Biasanya suatu janji politik akan dibiarkan tenggelam hingga pupus ditelan waktu dengan cara didiamkan, atau lenyap terlupakan dengan memunculkan isu baru yang lain. Sisi moral dalam dunia politik kadang sengaja dibuat menjadi relatif, pertimbangannya tergantung kepentingan. Mungkin karena, “politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Harrold D. Laswell, 1939, Politics : Who Gets What, When, How).

Bukan kebiasaan baru, sudah sering janji-janji politik - terucap dan tertulis, sebagai cara dan upaya demi meraup dukungan suara pemilih saat pemilu. Seiring kekuasaan yang kemudian telah digenggam, janji-janji itupun dengan sadar sengaja dilupakan, atau dengan dibantah - diingkari, secara sengaja. Suatu preseden buruk bagi demokrasi yang dianggap sebagai cara paling beradap dalam memilih pemimpin, karena hak rakyat diposisikan terhormat yang langsung menentukan sendiri wakilnya untuk memimpin mereka. Bila hak suara itu dikhianati, rakyat sendiri yang harus memutuskan seperti apa kemudian.

            Bila berandai-andai, mungkinkah bilamana janji pemindahan ibukota yang sudah makin tenggelam dalam wacana perpolitikan pemerintahan Murad-Barnabas saat ini, yang boleh dipastikan janji itu batal - tidak akan ditepati - butuh penjelasan langsung yang bukan sebatas komentar menjawab pertanyaan kalangan media massa. Dan bilamana janji tersebut dikonversikan atau dikompensasikan melalui program pembangunan lain yang setidaknya bisa mengimbangi harapan - mengobati kekecewaan, Orang Seram akan manfaat bila ibukota segera dipindahkan ke pulau Seram, bakal mempengaruhi pilihan Orang Seram kepada pasangan Murad-Barnabas atau salah satu diantara keduanya apabila kembali maju berlaga pada Pilkada berikutnya?

Sesungguhnya, “politik bukan parang yang hanya satu muka, tetapi pedang yang bermuka dua,” kata beta.
Gg Swadaya, 10 Maret 2020
----------------------------
*) Penulis adalah Pengurus Harian Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC. PPP) 
    Kota Ambon - 4(Empat) Periode ; 1985 s/d 2005.

No comments:

Post a Comment