Alifuru Supamaraina: Janji Untuk Maluku Dan Masalah Provinsi Kepulauan

Monday, December 10, 2018

Janji Untuk Maluku Dan Masalah Provinsi Kepulauan

Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Ilustrasi ; "Isles Moluques." Georges-Louis, fl. 1740-1780. Peta lempeng tembaga, dengan warna tambahan, 20 × 27 cm. Dari Le Rouge Atlas nouveau portatif (Paris, 1748). Referensi: Parry, Kartografi Kepulauan Indian Timur, piring 6.25[Sumber ; Historic Maps Collection]
            Ilustrasi ; "Isles Moluques." Georges-Louis, fl. 1740-1780. Peta lempeng tembaga, dengan warna tambahan, 20 × 27 cm. Dari Le Rouge Atlas nouveau portatif (Paris, 1748). Referensi: Parry, Kartografi Kepulauan Indian Timur, piring 6.25[Sumber ; Historic Maps Collection]


          Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 7,9 juta kilometer persegi, dan Kepulauan Maluku sendiri terdiri dari 1.340 pulau besar dan kecil, dengan luas wilayah 706.645 km2. Luas wilayah yang terdiri dari luas lautan(perairan) 658.294,69 km2(92,6%) dengan panjang pantai 10.662 km serta luas daratan 47.350,42 km2(7,4%). Maluku secara demografi tidak besar jumlah penduduknya, menurut data BPS dalam Maluku Dalam Angka 2017, hingga tahun 2016 hanya berjumlah 1,715,548 jiwa. Dengan jumlah yang “tidak seberapa” itu, tetapi wilayahnya sangat besar dalam kepemilikan potensi kekayaan Sumber Daya Alam(SDA). 

Potensi kekayaan bumi Maluku menyebar di atas tanah, di perut bumi, seisi laut. Demikian juga secara georgarafi cakupan wilayah perairan lautnya sangat luas, yang membentangkan ribuan pulau, besar dan kecil.

Antara luas wilayah, potensi kekayaan SDA, dan dengan jumlah penduduk yang boleh dikatakan minimalis - seadanya dibanding luas wilayah, bahkan sudah dikurangi setelah di kepulauan Maluku bagian utara dimekarkan menjadi Provinsi Maluku Utara. Kenyataan hari ini Maluku - Maluku Utara, secara umum masih saja tertatih-tatih pembangunan wilayahnya. Penyebab dan kendalanya beragam, tetapi lebih kepada kebijakan dan regulasi dalam politik hukum dan sistem administrasi pemerintahan negara, tentang bagaimana Maluku diperlakukan dan diposisikan. Untuk itu, cara pandang untuk menyaksikan Maluku hari ini, butuh kesabaran jiwa untuk menenangkan emosi dan ketenangan pikiran agar beragam “kejanggalan” terurai sebab dan akibatnya, walau itu kadang hingga harus melewati batas kemampuan sebagai manusia normal dan beradab. 

Sebagaimana kita memandang sejarah Maluku pasca_kemerdekaan dengan terbentuknya Negara Indonesia, dan dengan pernyataan sikap para tokoh Maluku untuk Maluku bergabung dengan Negara Indonesia, sampai dengan pembubaran NIT(Negara Indonesia Timur) – bagian dari Republik Indonesia Serikat(RIS) yang juga dibubarkan. Demikian hingga dengan dibungkamkan pergerakan rencana membentuk Negara Republik Maluku Selatan(RMS), Orang Maluku seperti “mati rasa”, untuk tidak dikatakan “mati kutu”. Maluku terpuruk keunggulan posisi tawarnya, seperti tidak lagi mengenal dan memiliki arah menjalani perjalanan waktu hingga saat ini, padahal masih tetap berkomitmen bersama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).


Janji Untuk Maluku

          Terasa tidak penting siapa Presiden sekarang atau yang akan terpilih di dalam penyelenggaraan Pilpres 2019 bulan April yang akan datang. Memori kolektif, yang terbentuk dari pengamatan secara personal melalui pembelajaran  dari pengalaman selama ini, bahwa hampir semua Presiden pernah memuji dan menjannjikan sesuatu untuk Maluku. Janji politik yang selalu berulang, diulang-ulang baik secara langsung di saat kehadiran Presiden Republik Indonesia datang berkunjung ke Maluku, maupun tentu dalam kesempatan lain di lain waktu dan tempat. Janji yang disampaikan langsung di hadapan rakyat Maluku, atau kepada perwakilan atau tokoh yang mewakili masyarakat Maluku ketika bertemu langsung dengan Presiden. Janji-janji berulang dan berganti pengucapnya dalam bahasa yang cukup diacak susunan tata kalimatnya, padahal pada prinsipnya tetap sama yaitu mengandung pesan yang dinilai adalah suatu janji. Nilai janji seorang Presiden adalah pesan negara, pesan atas nama NKRI. Sayangnya janji-janji itu kemudian lenyap lagi seiring bersama bergantinya presiden, dan tentu akan kembali muncul lagi bersama presiden yang baru.
 

Presiden Soekarno, beta perkirakan sangat memuji posisi Maluku yang menyatakan menyatukan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mungkin saja ada janji yang terucapkan. Persisnya apa yang dijanjikan dibalik pujian seperti itu, beta tidak mengetahuinya persis, silahkan tanya tokoh-tokoh Maluku yang terlibat dalam persiapan awal kemerdekaan dan saat menata kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan. Jangan lupakan juga, apa yang dirundingkan Presiden Soekarno dengan para tokoh Maluku setelah diakhirinya pemerintahan Republik Indonesia Serikat dan dengan dibubarkannya Negara Indonesia Timur(NIT). Soekarno pun pernah sampai menginjakkan kaki di pulau Seram, dan memberi nama kepada kota baru yang merupakan Ibukota Kabupaten Maluku Tengah yaitu Masohi. Soekarno tidak mungkin tidak ada sesuatu yang tidak disampaikan sebagai janji kepada para Tokoh Maluku – pro Republik saat itu, demi mengukuhkan dan mengawal keutuhan negara Indonesia yang masih berumur muda, beserta dengan atau agar Maluku tetap sebagai salah satu provinsi intinya. Wilayah Maluku juga menjadi “garis depan” Indonesia dalam Operasi Trikora, ketika menghadapi Belanda dalam usaha merebut Papua – Irian Barat, bahkan dana operasi sebagian disumbangkan Maluku dari penjualan hasil bumi kopra – kelapa. Tugu Trikora di pusat kota Ambon, menjadi monumen bisu yang merekam sikap nasionalisme Maluku bagi Indonesia dalam kontribusinya menyatukan Papua kedalam NKRI.

Setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia yang diistilahkan dengan G30S/PKI, terjadi pembunuhan sejumlah Jenderal Angkatan Darat, pemerintahan Soekarno secara de facto dikendalikan atau dipegang oleh Soeharto. Tentu atas rencana dan persetujuan Soeharto dan Soekarno, serta pembicaraan (mungkin saja plus janji) dengan para Tokoh Maluku saat itu, ribuan orang yang dinyatakan terlibat G30S/PKI, ditahan dan dibuang ke pulau Buru, salah satu pulau terbesar kedua di Maluku setelah pulau Seram. Pulau Buru khususnya dan Maluku umumnya, menjadi dikenal luas tidak sekadar di Indonesia tetapi di dunia, sebagai wilayah pengasingan tahanan politik orang-orang Komunis Indonesia. Predikat wilayah pengasingan atau pembuangan orang-orang yang dinyatakan musuh negara, dan Maluku – khususnya pulau Buru, walau para tahanan tersebut sudah dibebaskan, tetapi masih terbaca penyandang “gelar” Pulau PKI hingga hari ini. Negara belum pernah secara resmi menyatakan gelar tersebut telah dihapus, kecuali kemudian menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi pemukiman Transmigrasi Nasional dengan mendatangkan tambah warga baru dari pulau Jawa.

Hasil Pemilu pertama jaman Orde Baru tahun 1971, menjadikan Soeharto resmi sebagai Presiden Indonesia dengan predikat rezim Orde Baru(Orba), menggantikan Soekarno – rezim Orde Lama(Orla). Berlanjut eksploitasi SDA Maluku. Pembabatan hutan(hasil kayu), penggalian isi perut bumi Maluku(hasil tambang), penjaringan kandungan laut perairan Maluku(ikan, udang, teripang, lola, dan mutiara), adalah kekayaan yang dieksploitasi secara besar-besaran hingga berakhir rezim Orba di tahun 1998. Sejumlah perusahaan besar pembabat hutan-hutan di hampir semua pulau dan pabrik kayu lapis didirikan, kayu berkualitas bagus seperti meranti merah Buru diekspor gelondong ke luar negri, sementara kayu asalan atau kualitas rendah diproduksi sebagai kayu lapis. Perusahaan-perusahaan asing dengan ratusan armada kapal ikan dan udang bertonase ratusan ton masif mengeruk dengan nafsu isi laut Maluku. Tidak terbilang nilai kekayaan atas perolehan keuntungan penjualan hasil eksploitasi SDA Maluku, tentu sangat luarbiasa jumlahnya.

Saat Indonesia beralih dari rezim Orde Baru kepada Rezim Reformasi, berawal dengan pemerintahan negara dipegang oleh Presiden B.J. Habibie, kemudian K. H. Abdurrahman Wahid dan dilanjutkan dengan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Maluku porak-poranda oleh kerusuhan akibat konflik massa. Saling berhadapan sesama Orang Maluku yang secara terkelompok terbagi menjadi dua berdasarkan agama yang dianut masyarakat Maluku. Konflik dimaksud telah mengakibatkan ribuan orang mati sia-sia, cacat, terluka dan tersandera efek traumatis. Kehancuran perekonomian, kehilangan kesempatan kerja dan berusaha, kehilangan dan kerugian harta benda, keretakan hubungan sosial dan budaya, carut-marut dunia pendidikan dan pelayanan kesehatan. Ketika karena dengan kesadaran secara budaya adat sesama orang Maluku sehingga konflik tersebut diakhiri, Maluku terseok-seok dalam upaya merehabilitasi kondisi kehancurannya untuk kembali menjadi normal.

Kepemimpinan negara setelah Megawati Soekarnoputri, dilanjutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan saat ini Presiden Joko Widodo. Atas nama kekuasaan negara, berdasarkan Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, pasal (33) ayat (3); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Selanjutnya dalam beberapa aturan turunan konstitusi, malah melahirkan pembatasan kepada daerah pemilik SDA sehingga tidak dapat mengelola sendiri atau mendapatkan hak lebih baik terhadap ketersediaan SDA yang ada. Karena itu, Maluku hanya bisa berharap dari hasil bagi – bukan bagi hasil, kekayaan SDA-nya dengan daerah lain, menyebabkan Maluku masih tidak berhasil menyelamatkan diri dari ketidak mampuan membiayai kebutuhan dana pembangunan sebagaimana dibutuhkan dan diprogramkan oleh daerah Maluku. Akibat buruknya, Maluku masih terbelunggu dalam kerangkeng, sekaligus terpuruk sebagai wilayah Provinsi termiskin di Indonesia.

Harapan besar keluar dari keterpurukan dimaksud, “dikhayalkan” bakal bisa melalui beberapa momentum kegiatan serimonial sesaat tingkat nasional yang diselenggarakan di Maluku. Momen serimonial yang meninggalkan harapan melalui janji Presiden Indonesia, kenyataan realisasi masih menggantung di alam mimpi rakyat Maluku. Misalnya janji untuk membangun Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku, yang pernah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada 9 Juni 2012 disaat penyelenggaraan Sail Banda. Janji LIN dimaksud dipidatokan ulang oleh Presiden Joko Widodo. Belum lagi kepastian kepemilikan hak Maluku atas PIParticipating Interest, 10 persen atas Blok Gas Masela, sebab sementara ini Maluku dihantui keinginan dan sedang diperjuangkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk juga mendapatkan bagian hak di Blok Masela.


Masalah Provinsi Kepulauan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, provinsi kepulauan diberi wewenang, antara lain mengurus perairan 0-12 mil dan pembagian kewenangan dengan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan tersebut tidak berbanding lurus dengan perlakuan yang adil dan bijaksana terhadap kekhasan dan kekhususan kondisi hidrologi kepulauan Maluku yang memiliki wilayah berperairan luas dengan potensi kekayaan SDA luarbiasa. Hal itu ditunjukan dengan minimnya anggaran pendapatan daerah yang bersumber dari Dana Alokasi Umum(DAU). Buktinya, Maluku masih terpuruk keadaan hidup masyarakatnya yang tergolong provinsi termiskin, serta masih tingginya angka pengangguran, dan melempemnya pelayanan masyarakat dalam banyak bidang pembangunan daerah. “Sumber Daya Alam (SDA) kita sangat kaya sekali, tetapi masyarakat miskin dan yang memiskinkan kita adalah aturan yang dibuat Pempus,” kata Wakil Gubernur Maluku Zeth Sahuburua (Tribun-Maluku.com 2/16/2016).

Untuk mengatasi masalah minimnya alokasi anggaran oleh Pemerintah Pusat yang memperlakukan wilayah Maluku “bak anak tiri”, karena besaran anggaran hanya pertimbangannya berdasarkan luas daratan dan jumlah penduduk. Maka Maluku bersama provinsi yang sama karakteristik wilayahnya yaitu Maluku Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau, Sulawesi Tengah, masih berjuang dan sudah berlangsung 13(tiga belas) tahun. Di tahun 2008 dibentuk Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, guna bekerjasama untuk terus mendesak Pemerintah Pusat dan DPR segera mengundangkan Undang-undang Provinsi Kepulauan(UUPK). Sayangnya, usaha tersebut masih sulit direalisasikan Maluku masih harus terus berjuang, sebab masih sangat kental politik hukum negara, dimana yang lebih dahulu dikembangkan adalah daratan, padahal negara Indonesia nyatanya adalah negara kepulauan dan sekaligus negara maritim. Saatnya Pempus memberi stimulus untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Maluku, dengan memberi Maluku kewenangan khusus dan jelas guna mengelola laut lebih dari sebatas hanya 0-12 mil laut dari garis pantai.

Dalam RUU tentang Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan, Pasal (1) angka (1), “definisi daerah kepulauan adalah provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut lebih luas dari wilayah darat, yang di dalamnya terdapat pulau–pulau  termasuk bagian pulau yang membentuk gugusan pulau.”  Butuh perlakuan khusus melalui perubahan cara pandang dalam politik hukum yang selama ini dikembangkan masih terkonsentrasi pada daratan, agar disesuaikan dengan ciri negara Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara maritim.      

Bismar Arianto(kepri.antaranews.com), Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji, menyatakan permasalahan daerah kepulauan di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam empat permasalahan utama, yakni sebagian besar pulau-pulau merupakan daerah kawasan tertinggal dan banyak yang tidak berpenghuni, serta keterbatasan pelayanan administrasi pemerintahan, pemberdayaan ekonomi dan sosial budaya, sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, termasuk transportasi laut yang menghubungkan antarpulau kecil dan pulau besarnya.  Bismar mengemukakan Indonesia negara strategis sehingga perlu dipahami pentingnya posisi negara ini sebagai negara kepulauan, yang seharusnya juga diimbangi dengan percepatan dan prioritas pembangunan di daerah kepulauan yang merupakan komponen penting dari negara kepulauan.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/BAPPENAS) memiliki rancangan program tentang Arah dan Strategi Pengembangan Wilayah Strategis Maluku – Papua, yang terhitung masih tinggal satu tahun lagi masa pemerintahannya berakhir. Pencapaian program dimaksud, masih belum terukur pencapaian maksimalnya. Belum ada perubahan berarti khususnya bagi Maluku dalam hal perubahan untuk penambahan besaran jatah anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara) kepada APBD(Anggaran Pendapatan Dan Belanja daerah) Maluku. Masih banyak permasalahan yang dihadapi Maluku, mulai dari masih kurangnya infrastruktur primer untuk masyarakat, aktifitas ekonomi yang terbatas, masih rawannya keamanan, khususnya di daerah kepulauan yang memiliki akses sebagai pulau-pulau terluar atau berdekatan dengan perbatasan dengan negara lain. Hal yang terpenting adalah minimnya anggaran yang disalurkan untuk daerah kepulauan, sehingga perlu dievaluasi. Harus ada perbedaan antara daratan dan lautan untuk daerah kepulauan Maluku. Maka itu, harapan besar ditumpuhkan melalui UUPK, sebab Alokasi Dana Perimbangan dari APBN akan mempertimbangkan lautan sebagai bagian dari luas daerah.

Mengulang ingatan, tentang salah satu butir Kehendak Anak Negeri Maluku, hasil Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes Mama) tanggal 25 - 26 November 2015 di Kota Ambon, yang sudah disampaikan kepada Pemerintah Pusat di Jakarta, yaitu ; Mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegera mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017, agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan. Sudah tiga tahun berlalu, belum ada tanda-tanda keinginan tersebut dipenuhi atau ditanggapi serius oleh yang tertuju. Mungkin saja akan lenyap bersama bergantinya kekuasaan dan waktu.

Maluku sudah lelah karena begitu lama berharap pada Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR)Republik Indonesia untuk percepatan segera pengesahan UUPK, sehingga ada keadilan dalam porsi anggaran bagi Maluku dan permasalahan pengelolaan SDA Wilayah Maluku sebagai wilayah kepulauan dimungkinkan akan mudah teratasi serta mempercepat keluarnya Maluku dari peringkat Provinsi Termiskin di Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI). Maluku secara santun masih berharap seperti itu, agar tidak berubah cara berpikir untuk menuntut lebih sampai harus meminta diperlakukan sebanding - berdasarkan sejarah Maluku, seperti perlakuan khusus negara Indonesia yang diberikan dan diterima oleh Provinsi Papua, Aceh, dan Jogjakarta.
                                                                                                                                                    
                                                                                                                                                         Kpg.Bendungan, 11 Desember 2018

No comments:

Post a Comment