Alifuru Supamaraina: DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri

Tuesday, February 18, 2020

DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri

Oleh; M. Thaha Pattiiha
DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri
Ilustrasi Dewan Adat Maluku (mth_@embun01/18022020) 

Judul tulisan ini memang panjang, sepanjang satu tarikan nafas perasaan nelangsa dan berkecamuknya pikiran-pikiran ketidakpuasan dan ketidakterimaan terhadap nasib dan masa depan negeri-negeri adat. Ketika menyaksikan dari hari ke hari tidak pernah surut oleh peristiwa-peristiwa yang cenderung menciderai tatanan adat yang terpelihara sejak dulu. Ternyata bukan hanya Belanda, di zaman sudah merdeka pun praktek “suka-tidak suka” pada pemerintahan berdasarkan adat Negeri - Desa - Hena - Aman - Ohoi - atau sebutan lain, malah ulang dipraktekkan dalam kewenangan sebagai penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota. Demi melanggengkan kekuasaan pihak tertentu adat dibuat seakan lomba “hela rotan”, yang kuat yang menang. Mereka adalah “orang baru” yang menang karena peluang politik yang dapat mengangkangi tatanan adat dan karena didukung kekuatan uang. Akumulasi ketidakpuasan atas peristiwa-peristiwa penghancuran tatanan adat, telah mengerucut membentuk suatu pandangan “kasar” yang perlu disuarakan ke publik. Rasa prihatin selaku anak adat, tentu harus peduli. Berharap akan ada perubahan kesadaran atas tanggungjawab moral kepada kepentingan jangka panjang pelestarian kearifan nilai-nilai adat. Adat mengandung nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan sosial, dan hukum adat, yang lazim oleh masyarakat pada suatu daerah. Secara internasional Masyarakat Adat, telah mendapat pengakuan dan perlindungan melalui Deklarasi Perserikatan Bangsa‐Bangsa Tentang HakHak Masyarakat Adat, yang disahkan pada sidang umum PBB tanggal 13 September 2007 di New York. Kecuali itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang masih belum juga disahkan DPR-RI.


Belajar dari peristiwa yang menciderai tatanan Adat

Di kabupaten Maluku Tengah - Malteng, sudah tak terbilang jumlah negeri adat yang pemerintahannya bermasaalah akibat campur tangan - kepentingan politik, kekuasaan penguasa di atasnya. Bahkan, sebagian negeri adat kepala pemerintahannya hanya berstatus “Kepala Desa”, bukan Raja Adat, sebab hanya dilantik Bupati di Kantor Kecamatan, ada juga yang dilantik malam hari di ruang tertutup, setelah itu pun tidak ada pengukuhan secara adat di dalam negeri bersangkutan - pelajari tatanan sejarah semua negeri sebagai negeri adat - pengukuhan adat sifatnya wajib. Menurut aturan - UU Desa, tentu sah dalam pada level terbawa struktur pemerintahan negara, tetapi tidak menurut tatanan adat dan aturan yang mengatur sistem pemerintahan negeri berdasarkan adat.

Di kota Ambon - seperti juga di Malteng - kabupaten Seram Bagian Barat - SBB, negeri-negeri adat diambangkan status pemerintahannya melalui penunjukkan Penjabat Sementara - Pjs - memanfaatkan “ruang bermain-main” Undang-Undang Desa, oleh Walikota - dan Bupati. Masa bertugas penjabat yang harusnya bertenggang waktu -hanya 6(enam) bulan, diabaikan, dimelarkan tanpa batas waktu dan berlangsung bertahun-tahun, malah ada yang lebih dari satu orang Pjs pada negeri yang sama. Terdapat negeri adat yang bermasalah tentang Mata Rumah Parentah, kemudian diputuskan Saneri Negeri melalui voting, sesuatu yang tidak pernah ada dan tidak dikenal dalam sejarah adat, tetapi diciptakan dikhasanah politik sesat dunia modern. 

Seperti tersebut di atas, hanya contoh kecil dari peristiwa yang sudah berlangsung lama. Melalui kewenangan otonomi daerah, seperti terkonsep, terstruktur, dan masif, adat negeri diacak-acak, pelaku adat dibenturkan dan Hasilnya efektif. Posisi dan peran adat melemah daya tawarnya di hadapan penguasa otonomi daerah.  kekuasaan politik oligark. Tatanan baku nilai-nilai adat terpinggirkan, diposisikan dalam kendali untuk boleh hanya sebagai “kaki tangan” kekuasaan. Efek sial otonomi daerah, yaitu malah melahirkan “Maha Raja” untuk Raja negeri raja-raja.
Baca juga ;
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial

Dalam struktur adat, kecil kemungkinan untuk diutak-atik, dirubah pakemnya, tetapi bukan berarti ruang berdemokrasi dan peluang tertutup bagi siapapun dalam struktur adat. Struktur adat yang sifatnya baku dan permanen pada sebuah negeri adat, bukan berarti menstratakan kehidupan sosial masyarakatnya dibedakan secara kelas sosial. Maksudnya lebih kepada fungsi sesuai tugas yang diemban dan hal itu berdasarkan kemampuan yang dimiliki - di awal sejarah penetapannya.

Ketidak-mungkinan yang tidak berlaku bagi penguasa otonomi daerah. Melalui upaya kolusi dengan kekuasaan, memberi peluang - sama-sama mendapat keuntungan politik, bagi mereka yang menganggap adat sebagai halangan dan batu sandungan melanggengkan ego sempit dan ambisi terselubung personalnya, terutama yang termarjinalkan dalam struktur adat.  Orang-orang sedemikian yang sering menjadi “penyamun” untuk mengobrak-abrik kekayaan adat yang sesungguhnya sudah baku, sesuai silsilah dan sejarahnya.  Sengaja dibuat kabur dengan “dikangkangi”, agar dapat merebut ruang untuk berkuasa di dalam negerinya.

Mengamati peristiwa yang berlangsung di kabupaten Seram Bagian Barat, seharusnya diformalkan lebih dulu negeri - hena - yama, yang merupakan negeri adat, dipisahkan dengan negeri pemekaran baru. Dalam hal pemekaran suatu negeri, tidak boleh ada “matahari kembar”, sehingga status negeri baru hanya bersifat pemisahan hak kelola administri umum pemerintahan setingkat negeri adat. Negeri baru tidak dapat mengambil alih kuasa hak adat atau hak ulayat negeri induk - kecuali diijinkan atau dilepas oleh negeri induk. Secara adat, negeri baru berstatus negeri biasa dengan sebutan “Kepala” - dapat diganti melalui Pemilihan sesuai diatur UU Desa, tidak sebagaimana “Raja” merupakan sebutan negeri adat dan menjadi hak utuh matarumah parentah dan tidak dipilih sebagaimana negeri baru hasil pemekaran.

Hal menarik mengantisipasi polemik yang bakal muncul dalam hal permasalahan pemerintahan tingkat negeri - Ohoi, langkah strategis mendudukan kebenaran sejarah pemerintahan adat, sekaligus terobosan paling efektif – menurut keyakinan adat, dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara, M. Thaher Hanubun. Bupati menggelar Sumpah Adat Makan Tanah dan Sumpah Kepunahan Tujuh Generasi Keturunan (Daur Viit) bagi Para calon Kepala Ohoi - Negeri, Definitif.  bilamana bukan sebagai garis keturunan yang berhak. Dengan cara ini para “penyamun” yang bukan matarumah parentah dibuat berpikir dan tidak bakal berani merampok yang bukan haknya. Cara demikian beta yakin, tidak bakal berani dilakukan penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota lain, yang syarat dengan praktek politik oligarki.

Peran bisu lembaga adat Majelis Latu-Pati membuat masyarakat buta akan fungsinya, mungkin hanya lembaga pelengkap penderitaan masyarakat adat, selebihnya berubah fungsi menjadi lembaga politik dan sub-ordinan birokrasi kekuasaan, selain hanya sekumpulan “priyai”.  Lembaga Latu-Pati secara personal terdiri dari para raja - kepala pemerintahan, negeri adat, harusnya lebih berperan menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, yang juga demi kepentingan negeri adat yang dipimpinnya.

Sementara Pemerintah Provinsi seperti “mati rasa”, dari Gubernur ke Gubernur berikutnya, mungkin menganggap permasalahan adat bukan hal penting. Masalah pemerintahan adat, samasekali diabaikan - terkesan tidak peduli, dianggap itu urusan Bupati dan Walikota. Hak-hak tradisionil petuanan - hak wilayah(tanah dan hutan) - hak ulayat, Masyarakat (Hukum) Adat, diambangkan statusnya sementara secara masif ijin diterbitkan kepada korporasi kapitalis untuk menggarap dan tentu menghancurkan hutan wilayah hak adat, tanpa manfaat berarti kepada masyarakat adat pemiliki hak. Aksi protes secara damai Masyarakat Adat dihadang Aparat Bersenjata, dan bila diterima hanya untuk didengarkan tuntutannya. Lalu didiamkan dan sepi dari tindakan yang diharapkan - yang dituntut. 

Butuh Dewan Adat

Mempertimbangkan peristiwa dan hal-hal permasaalahan dikemukakan di atas, perlu segera dibentuk lembaga legislatif masyarakat adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat dibutuhkan untuk mengemban fungsi sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator kepentingan Masyarakat Adat, dengan  sesama intern komunitas masyarakat adat, dengan pemerintah, swasta, dan pihak lain, sesuai kuasa dari Masyarakat Adat.

Dewan Adat harus benar-benar kedudukannya independen, steril dari pengaruh kepentingan birokrasi pemerintahan, pemodal swasta, partai politik, agama, dan tidak dijadikan kendaraan politik meraih kekuasaan politik di pemerintahan. Anggota Dewan Adat merupakan pribadi-pribadi yang yang diusulkan, diseleksi - sesuai syarat independensi yang dimaksud di atas, dari usulan anggota jaringan Koalisi Masyarakat Adat, dengan persyaratan yang diatur ketat. Anggota Dewan Adat setelah terpilih dan ditetapkan, dikukuhkan melalui “Sumpah Adat”. Dan keanggotaan harus memperhatikan unsur keterwakilan semua wilayah adat yang seimbang.

Terdapat banyak sekali kesatuan masyarakat - adat, yang sudah terbentuk baik berupa Organisasi Kemasyarakatan - Ormas, Lembaga Sosial Masyarakat - LSM, Institusi Independen, Tokoh-tokoh  Adat di Seram, Makebo, Gorom, Ambon, Banda, Buru, Lease, Key, Aru, Tanimbar, Babar hingga Wetar. Personal-personal Pemerhati Adat dari Akademisi dan Masyarakat umum berlatar Anak Adat, di seluruh Maluku maupun yang berdomisi di luar Maluku. Dari jaringan tersebut bisa diajak berkoalisi, disebutlah “Koalisi Masyarakat Adat”, dan melalui perwakilan yang ditunjuk atau dipilih, kemudian membentuk suatu lembaga formal permanen yang hanya khusus mengurus kepentingan adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat, walaupun bersifat independen tetapi karena kedudukan, fungsi, dan kewenangannya, maka harus diakomodir untuk mendapat pos anggaran pembiayaan rutin untuk operasional lembaga setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah - APBD.
Baca juga ;

Beta cenderung menokohkan Dr. Abraham H. Tulalessy, Akademisi dan tokoh Pemerhati Adat - paling vokal, lengkap dengan Yayasan Satu Darah yang beliau pimpin, sangat representative sebagai Inisiator sekaligus “motor” penggerak memulai upaya dan merealisasikan pembentukan lembaga Dewan Adat. Secara pribadi, beta berharap pada kapasitas serta keluasan dan keluwesan Dr. Abraham, yang mampu membentuk lembaga Dewan Adat. Beliau cukup banyak mengenal – setidaknya mengetahui, untuk turut dilibatkan, siapa saja tokoh personal maupun dalam lingkup kelembagaan masyarakat adat, serta intitusi-institusi independen yang konsen pada masalah adat, guna dilibatkan mengisi struktur Dewan Adat. Tentu butuh lebih banyak Pemerhati Adat yang lain, dan keterlibatan berbagai komponen serta kepedulian semua anak adat. Bersama bersinergi untuk mengawal dan mendudukan secara terhormat harkat dan martabat adat pada tempatnya.

; 20/02/2020

Sumber ; Berbagai link berita media online, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Perda Adat Malteng/Ambon/SBB, Deklarasi PBB Tentang HakHak Masyarakat Adat, - dalam Domentasi Penulis.

No comments:

Post a Comment